Minggu, 24 Februari 2013

Rey

By : RENGGA TRIANTO


“Seperti kutub utara dan kutub selatan bumi, seperti ufuk barat dan ufuk  timur, seperti siang dan malam hari, seperti warna hitam dan putih, seperti hulu dan hilir sungai. Semua berpasang – pasangan, semua sudah ada bagiannya…..”

“Kamu tahu? Hidup ini sangat keras. Keras bagaikan batu,“ ucap Rey tiba – tiba, lalu ia menyulutkan api di ujung sebatang rokok.
“Aku tahu. Tidak mudah menjalani hidup seperti ini,“ jawab Eric merebahkan diri di atas tempat tidur Rey.
“Orang – orang  tidak akan mudah menerimanya atau bahkan sama sekali tidak,“ lanjut Rey lagi dengan suara pelan. Asap rokok mengepul dari mulutnya membentuk suatu rupa yang tak jelas bentuknya. Eric beranjak bangun dan duduk bersebelahan dengannya. Ia menarik napas panjang.
“Kita hidup di negara yang tidak mudah menerima hal – hal seperti itu.“
“Aku menyesal telah dilahirkan seperti ini. Kalau pun aku telah dilahirkan seperti ini, kenapa aku tak sama dengan yang lainnya!!!“ sesal Rey dengan nada suara yang meninggi. Ia beranjak dari duduknya dan berdiri di dekat jendela memandang langit yang gelap malam itu. Eric memperhatikan tingkahnya dengan rasa iba.
“Kamu nggak sendirian Rey. Bukankah aku mengalami hal yang sama denganmu?” tanya Eric.
“Tapi kau masih beruntung ‘Ric. Tidak seperti aku!!“ jawab Rey lirih. Air mata terlihat jatuh dari pelupuk matanya. Selama ini ia berusaha terlihat tegar di depan Eric, namun kali ini tidak. Perasaan memang tak mudah dibohongi.
“Ya sudah. Kita terima saja apa adanya kita. Jalani saja hidup ini selayaknya air yang mengalir,“ ucap Eric menepuk pelan pundak Rey. Rey tidak menjawab. Ia membisu dalam keheningan malam yang semakin larut. Eric membiarkannya.
“Rey, aku pulang ya?“ pamit Eric. Rey masih tak menjawab. Bahkan anggukan kepala tanda iya pun tak dilakukannya.
“Kuharap, besok kau bisa lebih tenang.“
Rey tak bergeming sedikit pun. Tatapan matanya kosong. Entah apa yang ia renungkan. Ia berusaha menerima apa yang telah diberikan Tuhan kepadanya.

♥♥♥

Mitha berjalan santai di koridor menuju ke kelasnya. Sementara itu, tanpa ia sadari dari kejauhan Rey memperhatikannya dengan seksama sambil menghisap sebatang rokok. Melihat secara detail setiap gerak dan lekuk – lekuk tubuh Mitha yang ramping. Melihat dengan sedikit terpesona rambut Mitha yang panjang hitam tergerai.
“Seksi, cantik,“ gumamnya pelan. Asap rokok yang dihembuskan dari mulutnya terbawa angin semilir hingga aroma tembakaunya yang khas tercium oleh hidung Mitha. Ia berhenti sejenak dan memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Dilihatnya Rey tengah bersandar di dinding belakang toilet siswa sambil asik menghisap rokok dan menyemburkan asapnya dengan tampak nikmat.
“Rey!!“ panggil Mitha. Ia terkejut dan spontan membuang rokok yang tampak baru separuh  dihisapnya.
“Mitha?“ katanya dengan nada terkejut.
Ngapain kamu di sini? Gawat lho kalau sampai ketahuan sama Pak Rizal?“ ujar Mitha menasehati. Mendengar perkataan Mitha, Rey tampak tidak terima. Wajahnya tiba – tiba berubah menjadi merah.
Urusin saja urusan kamu sendiri!!!“ ucap Rey dengan nada tinggi.
Lho kok marah?“ tanya Mitha heran.
Laporin saja sama Pak Rizal!!“ teriak Rey kesal sambil bergegas meninggalkan Mitha.
“Rey….!!!“ teriak Mitha. Namun Rey tidak peduli. Ia terus melangkah tanpa memperdulikan Mitha yang terus berteriak memanggil – manggil namanya. Mitha heran melihat tingkah laku Rey. Padahal ia tidak bermaksud untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Pak Rizal. Memang selama ini Rey selalu bersikap dingin kepadanya, bahkan cenderung cuek. Tapi tidak pernah ia berkata – kata dengan nada tinggi seperti itu sebelumnya. Kenapa Rey yang terlihat cool di matanya itu tiba – tiba berubah menjadi temperamental?
“Mungkin Rey hanya salah paham aja,“ batin Mitha dalam hati. Mitha menghela napas yang panjang. Lalu ia bergegas pergi meninggalkan toilet menuju ke kelasnya dengan sedikit perasaan bersalah kepada Rey.
♥♥♥

Malam itu udara sangat lembab. Hujan gerimis yang terus – menerus turun membuat udara dingin bagaikan es. Rey duduk terpaku di lantai seorang diri di dalam kamar kosnya. Televisi yang menyala ia biarkan begitu saja tanpa ditontonnya. Kepalanya menunduk. Pikirannya kosong. Tangannya menggaruk - garuk ujung kakinya yang tidak gatal. Mulutnya bergerak – gerak tapi tidak mengeluarkan suara. Ia seperti menyesali perbuatannya selama ini.
Suara – suara jangkrik di malam hari semakin menambah hening suasana. Suara televisi terus – terusan berbunyi tanpa ada yang menanggapi untuk melihat acara apakah yang sedang ditayangkan. Rey tampak tidak tertarik dengan gambar – gambar yang ditayangkan oleh televisi tersebut. Telinganya seakan tuli, tak mendengar suara – suara di sekitarnya. Hanya suara hatinyalah yang ia dengar.
“Sampai kapan kau akan terus begini?“ suara dari dalam sudut hatinya yang paling dalam tiba – tiba berbunyi. Rey sedikit tersentak. Ia menjawab dengan bibir yang bergetar.
“Aku tidak tahu,“ jawabnya pelan.
“Kenapa kau sampai tidak tahu? Bukankah sudah jelas kau harus memilih bagian yang mana,“ kata suara hati nuraninya berbisik.
“Aku tahu. Tapi itu bukan pilihanku, itu bukan keinginanku,“ jawabnya lagi dengan suara yang sedikit membesar.
“Jangan turuti keinginanmu. Turutilah keinginan Tuhanmu!!“ lanjut hati nuraninya dengan nada meninggi.
“Ini keinginan Tuhan!! Tuhan yang membuatku jadi begini!!“ bentaknya sambil melemparkan bantal ke dinding hingga mengenai toples yang berisi ikan. Toples tersebut  jatuh pecah berserakan di lantai.
“Kau masih punya kesempatan untuk berubah. Tuhan pasti memberi jalan,“ kata hati nuraninya lagi dengan suara yang melemah.
“Kesempatan? Kesempatan apa!!! Kenapa tidak dari awal ketika aku dilahirkan!! Kenapa Tuhan membuatku jadi berbeda!! Tidak sama seperti orang lain!! Kalau boleh aku memilih, aku tidak mau dilahirkan ke dunia kalau tahu nantinya aku dilahirkan seperti ini!!“ bentak Rey kepada hati nuraninya sendiri. Suaranya memecah kesunyian malam. Air matanya jatuh tak terbendung bagaikan titik air hujan yang turun gerimis malam itu.
Suara – suara jangkrik yang nyaring seperti mengalunkan sebuah alunan melodi yang menyayat hati. Seperti alunan melodi instrumentalia yang mengiringi sebuah drama tentang kegalauan hati.
“Terima apa adanya dirimu,“ tiba – tiba suara dari sudut hatinya yang lain berbunyi. Rey menjawab dengan nada heran.
“Maksudmu?“ tanyanya dengan suara yang kembali pelan.
“Ya, jalani kehidupan ini seperti layaknya air yang mengalir. Salahkan Tuhan kenapa menciptakan kamu seperti ini,“ jawab suara hati tersebut dengan pasti. Rey seakan menemukan kembali kepercayaan dirinya.
“Eric benar,“ ujarnya pelan. Namun kepercayaan dirinya tak berlangsung lama.
Stop!! Ingat Rey perbuatan kamu itu salah!!!“ tiba – tiba suara hati nuraninya kembali bergaung dengan nada yang keras. Tanpa ia kehendaki, suara – suara hatinya yang lain tiba – tiba bermunculan, bergaung mengeluarkan komentar – komentar yang saling bertolak belakang. Suara – suara itu memenuhi seluruh ruang hatinya, pikirannya sampai ke dalam lubang telinganya. Suara – suara itu jelas dan tampak semakin nyata. Seakan ada sebuah debat seru antar kelompok dan mengharuskan Rey untuk menentukan siapa akhirnya yang menjadi pemenang. Rey tampak tak tahan. Ia menutup kedua daun telinganya rapat – rapat. Namun, suara – suara perdebatan itu masih saja menggaung di telinganya. Ia menggeram, lalu ia berteriak sekencang – kencangnya.
“Diaaaaaaaam!!!!“ suaranya kembali memecah kesunyian malam. Jangkrik – jangkrik berhenti mengalunkan nada – nada penuh kegalauan. Hujan berhenti menumpahkan airnya ke bumi. Malam semakin larut dalam persimpangan dilema.

“Suara hati nurani adalah sedemikian halusnya, sehingga mudah dicekik, tetapi sedemikian murninya, sehingga tak mungkin disalah artikan.”

12  Maret 2004
Dear Diary
Hari ini aku melihat Rey merokok di toilet belakang sekolah. Aku heran, kenapa ia berani merokok disaat jam pelajaran tengah berlangsung. Lantas aku menghampirinya. Seperti biasa, sikap coolnya selalu membuatku terpesona. Lalu aku berbasa – basi memberi tahu dia, kalau sampai ketahuan sama Pak Rizal, bisa gawat urusannya. Eh, Tau nggak dia jawab apa? “Urusin aja urusan kamu sendiri,Gitu katanya. Padahal aku nggak ada maksud buat ngelaporin dia. Bete juga sih ngedengernya. Niatnya mau basa – basi eh malah dia salah paham.
Rey…Rey, kenapa sih sikap kamu begitu dingin. Malah lebih dingin dari sebongkah es. Aku benar – benar penasaran sama kamu. Kamu tuh beda sama cowok – cowok lain yang ada di sekolah. Nggak genit kayak si Bryan, nggak kepedean kayak si Riko atau sok kegantengan kayak si Andy. Kamu tuh cool. Ya…Cool. Aku suka gaya kamu itu. Sebenarnya kamu tuh ganteng. Seandainya kamu sedikit saja beraksi godain cewek – cewek di sekolahan kita, bisa – bisa si Riko kalah pamor tuh sama kamu. Aku yakin deh, pasti cewek – cewek pada kelepek – kelepek. Termasuk aku Rey.
Tapi, kenapa Rey tadi kamu kasar sama aku. Biasanya juga nggak. Kalau ada masalah coba ceritain.  Kalau bisa pasti aku bantu dengan senang hati. Sifat cool kamu itu menjadi bumerang bagi kamu sendiri. Punya masalah akhirnya dipendam sendiri. Abis kamu tuh terlalu cool. Jadi, orang anggap kamu tuh sombong. Temen kamu di sekolah bisa dihitung pake jari.
Walaupun begitu, aku tetap suka kamu kok Rey. Aku tetap mengagumimu. Kapan ya kita bisa ngobrol banyak. Dari hati ke hati.
Mitha menutup diarynya dengan rasa penasaran yang masih menyelingkupi.
“Andrey…“ desahnya pelan. Ia merebahkan tubuhnya yang ramping ke atas ranjangnya yang empuk. Matanya perlahan – lahan memejam. Pikirannya dipenuhi dengan segudang rasa penasarannya kepada Rey.
“Andrey…… I love You.
Perkataan penuh makna yang tanpa sadar ia ucapkan dari bibir mungilnya menutup hari malam itu.

♥♥♥

Mitha kembali memergoki Rey tengah berada di toilet belakang sekolah. Seperti biasa, mulutnya tengah asik mengisap sebatang rokok. Ia menghampiri Rey dengan hati - hati dan sebisa mungkin menyapa dengan kata – kata yang tak berhubungan dengan aktivitasnya saat itu.
“Rey,“ sapa Mitha pelan. Rey memalingkan wajahnya. Rokok yang berada di tangannya segera  dibuangnya.
“Ada apa?“ tanyanya pelan dengan wajah dingin tak berekspresi.
Nggak ada apa – apa. Aku cuma mau minta maaf soal yang kemarin,“ jawab Mitha tersenyum.
“Masalah apa? Aku nggak punya masalah dengan kamu,“ ucapnya santai hingga membuat dahi Mitha sedikit berkerut.
“Kamu nggak ingat sama sekali?“ tanya Mitha bingung.
“Kalau kata kamu yang kemarin itu masalah, bagiku itu nggak. Jadi, kita nggak punya masalah,“ jawabnya hingga membuat Mitha heran.
“Kamu aneh Rey,“ ujar Mitha.
“Aku memang aneh,“ sahut Rey ketus.
“Sebenarnya apa masalah kamu Rey?“ tanya Mitha menyelidik. Rey terdiam sejenak. Kali ini ia tidak menjawab pertanyaan Mitha. Kepalanya menunduk dan tatapan matanya kosong. Mitha lalu memegang pundaknya seperti seorang sahabat yang siap untuk mendengar cerita  dan memberikan solusi.
“Cerita Rey sama aku. Siapa tahu aku bisa membantu,“ tawar Mitha dengan suara yang menyakinkan. Rey mendongakkan kepalanya ke atas. Melihat segumpalan awan putih bersih yang menyerupai segerombolan anak – anak domba yang terbang melayang – layang mengikuti hembusan angin.
“Andai aku jadi awan. Tidak usah jadi manusia yang punya banyak masalah,“ ujarnya pelan. Mitha tertawa kecil mendengarnya. Dalam hati ia membatin, “Apa – apaan Rey berkata seperti itu?”
“Tapi sayang Rey. Kamu itu manusia,“ ujar Mitha.
“Itulah yang kusesalkan. Kenapa aku diciptakan menjadi manusia,“ katanya lirih.
“Itu takdir Rey. Kita harusnya bersyukur diciptakan sebagai manusia. Punya akal, pikiran, hawa nafsu, keinginan – keinginan. Tiada yang lebih bahagia selain menjadi manusia,“ ucap Mitha hingga membuat Rey memalingkan wajah ke arahnya. Ia tersenyum sinis.
“Bukankah itu semua menjadi bumerang bagi kita?“ tanya Rey.
“Tidak. Selama kita bisa mengaturnya dan menjalaninya sesuai apa yang dinginkan oleh Tuhan,“ jawab Mitha menatap wajah Rey.
“Tapi tidak semudah itu. Tak sesederhana itu bila kamu jadi aku.“
“Aku tahu. Kamu itu laki – laki. Bukankah jadi laki – laki itu menyenangkan? Bebas, ke mana – mana nggak ada yang melarang, gaya selengekan tanpa terikat banyak aturan. Lain dengan perempuan. Ini itu nggak boleh. Pulang jangan kemalemanlah, sikap dijagalah dan seabrek – abrek yang lain. Malah aku pernah berpikir, kenapa aku nggak jadi laki – laki aja. Nggak hamil dan nggak melahirkan,“ ujar Mitha panjang lebar dengan sedikit bercanda. Rey tampak tak tertarik dengan candaan itu. Ia kembali menundukkan kepalanya.
“Tetap tidak sesederhana itu masalahnya. Ini masalah hati, masalah jiwa, yang hanya Tuhan yang bisa merubahnya.“
“Kalau begitu, kamu berusaha aja untuk merubahnya, Tuhan pasti akan membantu,“ ucap Mitha hingga seketika membuat hati Rey menjadi sedikit tergugah. Ia mendongakkan kepalanya lagi lalu menatap wajah Mitha lekat – lekat sambil memegang lembut pundaknya dengan kedua tangannya.
“Kenapa kamu simpati sama aku ‘Tha? Padahal kita beda kelas dan nggak saling kenal dekat,“ tanyanya tiba – tiba. Mitha sedikit terkejut mendengarnya. Ia tak tahu harus menjawab apa. Jantungnya berdegup dengan keras. Apalagi tatapan mata Rey yang tajam bagaikan mata elang itu serasa menembus masuk ke jantung hatinya. Ia tak kuasa melihatnya. Ibarat sebongkah es, mungkin ia telah mencair dan menjadi air. Ingin rasanya ia mengatakan hal yang sebenarnya, bahwa ia telah jatuh cinta kepadanya. “Seandainya kau tahu perasaan hatiku ini Rey. Tak bisakah kau menangkap gelagat cinta yang kuberikan kepadamu? Saat itu akan segera tiba Rey,“ batinnya dalam hati. Mitha melepaskan pegangan tangan Rey di kedua pundaknya.
“Tapi kita satu sekolah ‘kan Rey?“ jawab Mitha tersenyum sambil melangkah meninggalkan Rey dengan raut wajah penuh keingintahuan. Rey masih tak bisa menangkap gelagat itu. Ia berdiri terpaku melihat Mitha berlalu meninggalkannya.

♥♥♥

“Apa tandanya kalau ada seorang cewek yang simpati dengan kita, padahal yang lain tidak dan biasa – biasa aja?“ tanya Rey kepada Eric.
“Itu tandanya, cewek itu suka sama kamu,“ jawab Eric dengan senyum yang dipaksakan..
Ngaco kamu,“ ujar Rey melempar Eric dengan bantal.
“Chaca juga begitu dulu sama aku,“ kata Eric menerawang.
“Tapi kamu bisa menerimanya,“ balas Rey dengan suara yang tiba – tiba melemah. Asap rokok mengepul dari mulutnya. Eric diam dan tak ingin menjawab. Ia berbaring di kasur memainkan gitar dengan nada yang tak karuan. Rey memperhatikannya sambil tersenyum.
“Tentu saja kamu bisa menerimanya. Kamu suka dia,“ lanjut Rey lagi. Eric menghela napas yang panjang.
“Siapa namanya Rey?“ tanya Eric.
“Mitha,“ jawab Rey singkat.
“Simpati bukan berarti dia suka lho Rey.“
“Kalau dia benar – benar suka aku?“ tanyanya hingga membuat Eric tak tahu harus menjawab apa. Perbincangan terhenti sangat lama. Rey terus menikmati rokoknya, sementara Eric terus memainkan senar - senar gitar dengan nada – nada yang tak berirama. Suaranya kembali memecah kekakuan.
“Kamu nggak bisa jawab ‘kan ‘Ric?“ tanyanya lagi. Eric mencoba menjawab.
“Kalau dia suka kenapa tidak?“ jawab Eric dengan nada setengah hati. Rey menghisap rokoknya dalam – dalam lalu menyemburkan asapnya ke udara hingga membuat kabut tipis yang melayang – layang bagaikan sutera di dalam kamarnya.
“Benar. Kenapa tidak? Ini memang bagianku. Ya, bagianku seperti kata hati nuraniku malam tadi,“ ujar Rey dengan kata – kata yang tak dimengerti oleh Eric.
“Apa Rey?“
“Ya, bagianku. Bagianku di dunia ini sesuai dengan kehendak Tuhan.“


♥♥♥

                                                                                                           26  Maret  2004
Dear Diary
Hari ini aku seneng banget. Soalnya tadi di sekolah aku ngobrol lumayan banyak dengan Rey. Jarang – jarang kesempatan seperti itu. Biasanya juga ketemu hanya bilang “hey“ atau bicara sepatah dua patah kata aja. Tapi tadi nggak. Rey curhat sama aku. Walaupun kesannya masih malu – malu. Aku juga nggak tahu pasti apa masalah yang sedang menimpa dirinya. Katanya, dia menyesal kenapa diciptakan menjadi manusia, kenapa nggak jadi awan saja. Aneh sih kedengerannya. Aku nggak tahu apa maksudnya. Aku juga nggak bisa menebak – nebak dengan pasti. Tapi menurutku, jika ada seseorang yang berandai – andai ingin menjadi awan, menjadi pohon, atau menjadi tumbuhan, pasti masalah yang dia hadapi sangatlah berat. Hingga dia berpikiran, kenapa nggak jadi pohon atau awan saja, yang bebas, nggak punya masalah, nggak mikirin ini itu segala macam seperti manusia yang dianugerahi akal dan pikiran oleh Tuhan.
Diary,  untuk pertama kalinya dia pegang kedua pundakku dan menatap mataku dengan tajam. Aku tak kuasa melihatnya. Hatiku dag dig  dug dibuatnya. Jantungku seakan ingin lepas dari gantungannya. Oh Rey, seandainya saat itu aku punya keberanian untuk mengatakannya. Tapi, kalau aku mengatakannya belum tentu juga kamu akan suka ‘kan Rey. Lagian, kesannya agresif sekali aku bila mengungkapkannya duluan. Biarlah waktu yang akan menjawab. Cinta itu memang butuh proses.
Mitha menutup diarynya. Wajah Rey yang tampan terus menghiasi pikirannya. Bagaimana Rey menatapnya dan sentuhan tangannya yang lembut seakan masih terasa di atas pundaknya. Bagaimana suaranya yang serak dan berat itu masih terngiang – ngiang di lubang telinganya.
“Seandainya kamu tahu Rey. Malam ini aku nggak bisa tidur. Aku terus aja mikirin kamu. Kau telah mencuri hatiku Rey. Aku terjerat pesonamu. Mengapa kau begitu menarik di mataku. Mengapa hanya kamu yang bisa membuat hatiku bergetar. Apakah kamu merasakan hal sama denganku malam ini Rey ?“

♥♥♥




“Masih memikirkan kenapa kamu jadi manusia?“ tanya Mitha tiba - tiba berdiri di depan Rey yang sedang duduk seorang diri di bangku taman sekolah.
“Masih,“ jawab Rey singkat. Mitha duduk di sampingnya, kemudian memperhatikan wajahnya yang seperti biasa, cool. Sambil menopang dagu dengan kedua tangannya, Mitha terus saja memperhatikannya. Rey sadar ia diperhatikan, lantas ia balas memperhatikan Mitha. Namun dengan secepat kilat Mitha melengoskan wajahnya. Rey geleng – geleng kepala. Mitha tertawa kecil tak bersuara.
“Kenapa?“ tanya Rey singkat. Mitha berpaling ke Rey.
“Coba kamu tuh senyum. Sedikit aja,“ goda Mitha. Rey menatap mata Mitha dengan tajam hingga membuatnya jadi salah tingkah. Lagi – lagi ia tak kuasa menatap tatapan mata itu.
“Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku kemarin?“ tanya Rey tiba – tiba. Deg!  jantung Mitha seketika berdegup kencang.
“Bukannya sudah kujawab?“ jawab Mitha tenang.
“Itu bukan alasan kamu simpati sama aku ‘kan?“ tanya Rey lagi.
“Bukankah setiap manusia butuh manusia lain untuk berbagi cerita?“ tanya Mitha balik
“Tapi kamu tidak tahu apa masalahku,“ jawab Rey ketus.
“Seandainya kamu memberitahuku Rey,“ desak Mitha sambil memegang kedua pipinya. Rey tersentak kaget.
“Maaf Rey,“ ucap Mitha menjauhkan tangannya. Rey buru – buru beranjak dari tempat duduknya.
“Tak perlu meminta maaf. Sorry, aku sudah ditunggu teman di kantin,“ katanya berlalu meninggalkan Mitha.
Angin semilir merontokkan daun – daun beringin yang kering. Ada yang jatuh berserakan di atas tanah. Sebagian lagi tampak bersiuran ditiup angin. Mitha duduk sendiri di bangku taman. Memikirkan sikap Rey yang terlalu misterius baginya.
“Sebenarnya, apa masalahmu Rey?“ tanya Mitha dalam hati.
“Apakah sepenting itu hingga kau tak mau menceritakannya kepadaku.“
Ia beranjak dari tempat duduknya dengan meninggalkan daun – daun beringin yang terus berguguran jatuh ke bumi.
Mendung tampak menggelayut di atas langit kota Pangkalpinang. Awan – awan yang tadinya berwarna putih bersih berganti warna menjadi kehitam – hitaman. Angin berhembus sedikit kencang hingga membuat pohon – pohon di sekitar sekolah bergoyang – goyang ke sana - kemari. Mitha berjalan pelan menuju ke pintu gerbang sekolah. Ia melihat jam tangannya.
“Sudah jam 4 rupanya,“ gumamnya pelan. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat hingga akhirnya sampai di pinggir jalan. Ia berhenti. Matanya celingukan ke sana kemari melihat apakah ada angkutan umum yang lewat. Sesekali ia melihat jam tangannya. Dari belakang terdengar suara motor yang menghampirinya. Bunyi mesinnya yang nyaring cukup memekakkan telinga. Mitha menoleh ke belakang hendak memarahi pengendara motor tersebut. Tapi ia tidak jadi marah ketika tahu pengendara motor tersebut adalah Rey.
“Rey, baru pulang?“ tanya Mitha.
“Ya, mau bareng?“ ajak Rey lagi – lagi dengan gaya coolnya. Mitha tersenyum lebar. “Tumben,“ batinnya dalam hati.
“Boleh,“ jawab Mitha menerima ajakan Rey. Tanpa banyak kata Rey melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Spontan Mitha memeluk pinggangnya erat. Rey membiarkannya.
“Ini memang bagianku.“
Di perjalanan mereka berdua tidak banyak bicara. Mitha lebih banyak melamun memikirkan sikap Rey yang benar – benar tak bisa dimengerti olehnya, “Tadi siang jutek, sekarang berubah jadi manis.”
Rey menurunkan kecepatan motornya di jalan yang ramai. Mitha melepaskan pelukkannya.
“Bentar lagi hujan lho Rey!!“ ucap Mitha dengan suara yang dikuatkan. Rey tidak menjawab, lalu dengan nada cuek ia bertanya.
“Rumah kamu di mana?“ tanya Rey.
“Rumahku masih jauh, di Pangkalbalam,“ jawab Mitha. Rey kembali memacu motornya dengan kencang. Motornya ia lajukan ke arah jalanan menuju Pangkalbalam.
Mitha mendongakkan kepalanya ke atas, melihat langit yang tampak semakin hitam disertai suara gemuruh yang riuh rendah. Titik air hujan tampaknya sudah tak sabar lagi ingin ditumpahkan. Ia menengadahkan tangannya ke atas. Tampak satu sampai tiga tetes air jatuh membasahi telapak tangannya yang halus. Rey terlihat tenang mengendarai motornya dengan kencang. Ia tidak terpengaruh dengan tetes air hujan yang mulai membasahi jaket levisnya.
“Rey, hujan!!“  teriak Mitha dengan suara keras. Tetes air hujan itu akhirnya jatuh ke bumi dengan begitu derasnya. Rey membelokkan motornya dan berhenti di sebuah rumah kosong di pinggir jalan. Dengan cepat mereka berdua turun dari motor dan berteduh di sana.
Mereka berdua berdiri di teras depan rumah kosong tersebut dengan membisu. Tak ada kata – kata yang terlontar untuk memecah kebisuan. Mitha tampak kedinginan dan merapatkan kedua tangannya di dada agar terasa hangat. Baju seragamnya terlihat setengah basah. Rambut hitam panjangnya pun kuncup tak tergerai karena basah. Rey memperhatikannya lekat – lekat. Entah apa yang ada dipikirannya. Spontan ia melepaskan jaket levis miliknya dan digantungkannya di pundak Mitha.
“Kamu kedinginan ‘kan?“ ucap Rey tiba – tiba dengan nada penuh perhatian memecah kebisuan. Mitha menatap wajah Rey yang basah. Ia tidak menyangka Rey tiba – tiba bisa bersikap semanis itu.
“Kamu perhatian sama aku Rey,“ ucap Mitha tersanjung. Rey jadi salah tingkah.
“Aku….. aku…“ perkataan Rey terputus karena Mitha buru – buru menutup mulutnya dengan kedua jarinya. Mitha kembali menatap wajah Rey dengan lekat dan memegang kedua pipinya yang basah. Mereka berdua terdiam, hanyut dalam suasana. Tanpa sadar Mitha mendekatkan bibirnya sambil terus menatap kedua mata Rey dalam - dalam. Rey terperanjat, namun ia tidak bisa berbuat apa – apa. Bibir mungil dan basah itu semakin dekat menuju ke arah bibirnya.
“Ini bagianmu,“ tiba – tiba terdengar suara dari dalam hatinya. Rey memantapkan hati. Ia langsung menerima bibir Mitha melumat bibirnya. Ia membalas lumatan itu dengan lembut. Tanpa sadar tangannya bereaksi mendekap erat pinggang Mitha yang ramping semakin mendekat ke arahnya. Bunyi rintik hujan yang semakin deras disertai bunyi gemuruh yang menggelegar tidak mereka hiraukan. Mereka berdua hanyut dalam lumatan – lumatan penuh gairah hingga mereka hampir kehilangan napas. Tiba – tiba Rey melepaskan dekapannya dan menyudahi ciuman tersebut. Mitha terkejut.
“Maafkan aku. Aku memang cowok brengsek,“ maki Rey pada dirinya sendiri.
“Aku yang tidak tahu diri Rey. Tidak seharusnya aku berbuat begitu kepadamu. Aku memang cewek murahan,“ bantah Mitha dengan rasa bersalah.
“Itu salahku ‘Tha!!!!“ tegas Rey  keras hingga membuat Mitha tersentak kaget.
Suasana kembali membisu. Kekakuan kembali meraja. Tak ada lagi suara – suara yang terlontar dari mulut mereka berdua. Hanya suara tetes - tetes air hujan dan suara gemuruh yang saling berlomba menunjukkan keangkuhannya. Mitha menatap Rey yang berdiri membisu memperhatikan tiap tetes air hujan yang jatuh membasahi bumi.
“Apa dia suka aku?“ tanya Mitha dalam hati.
“Cowok mana yang tidak mau jika disodorkan ciuman seperti itu,“ pikirnya lagi.
“Tapi dia tidak menolak. Dia menikmati ciuman itu,“ batinnya.
Hujan telah mereda walaupun masih menyisakan rintik – rintik yang kecil. Rey menghidupkan motornya dan memanaskannya sebentar. Mitha berdiri di belakangnya.
“Apa arti dari ciuman tadi Rey?“ tanya Mitha. Rey menoleh, namun ia tak menjawab pertanyaan itu hingga Mitha diantarkan tepat sampai di depan rumahnya.
“Makasih Rey,“ ucap Mitha tersenyum. Rey menatap Mitha dengan tatapan penuh makna. Bibirnya tersenyum walaupun sedikit, entah apa arti senyuman itu. Mitha surprise melihatnya.
“Ini pertama kalinya aku liat kamu tersenyum.“
“Aku pulang ya ‘Tha?” pamit Rey.
 Ia lalu melajukan motornya dan meninggalkan pelataran rumah Mitha. Sementara itu, Mitha melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya. Tiba – tiba ia sadar, ada sesuatu yang tertinggal, “Jaket Rey.“
Kipas angin berputar dengan kencang. Udara malam yang gerah memaksa Rey untuk menyetelnya hingga level teratas. Ia duduk di pinggir ranjang sambil merokok dengan nikmat. Sementara Eric keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada.
“Aku tadi menciumnya,“ ucap Rey tiba – tiba. Eric terkejut mendengarnya.
“Terus?“ tanya Eric sembari mengenakan kaosnya yang tergeletak di atas lantai.
“Kau bisa tahu bagaimana kelanjutannya,“ jawab Rey dengan melirik ke arah Eric.
Sex?? “ tebak Eric sembarangan. Rey tertawa terbahak – bahak.
Ngeres otak lo!!“ sergahnya berdiri dan mendowel kepala Eric.
“Lalu apa?“ tanya Eric penasaran. Rey menuju ke arah cermin dan memperhatikan wajahnya sendiri. Ia merapikan rambutnya yang tampak terlihat acak – acakan.
Just kissing,“ jawabnya dengan logat sok inggris. Eric melemparnya dengan kain handuk.
“Gaya lo!! Tapi kau menikmatinya ‘kan?“ tanya Eric lagi. Rey terdiam. Ia menarik napas yang panjang. Tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Rokok terus ia hisap hingga menyisakan batangan yang pendek.
“Apakah kau begitu terhadap Chaca?“ tanya Rey. Eric mengangguk. Rey tersenyum kecut melihatnya.
“Kau menikmatinya?“ tanya Rey lagi. Eric kembali mengangguk.
“Kau sungguh biadab ‘Ric,“ sindir Rey. Eric membela diri.
“Kita sama bro. Kau juga menciumnya ‘kan?“ tanya Eric.
“Tapi dia yang mulai,“ jawab Rey.
“Tapi kamu mau ‘kan?“ tanya Eric lagi.
“Yang pasti aku tidak seberuntung kamu ‘Ric. Kau suka Chaca,“ jawab Rey dengan kepala tertunduk.
“Cobalah untuk menyukainya Rey,“ ujar Eric seraya menepuk pundak Rey pelan. Rey diam sejenak. Suara hatinya yang paling dalam kembali menyerukan, “Ini bagianmu….memang bagianmu,“ Kalimat sakti itu selalu berhasil membuat hatinya tergugah.
“Jadi, mau kau apakan si Mitha?“ tanya Eric. Rey menjawab dengan pasti.
“Aku jadiin pacar,“ jawab Rey singkat hingga membuat Eric  terperangah.

♥♥♥





                                                                                                            28  Maret 2004
Dear Diary
Hatiku luluh lantak. Aku mencium bibir Rey. Ibarat roket, mungkin aku sudah terbang ke langit ke tujuh. Entah dorongan apa yang membuatku berani melakukannya. Tapi, dia tidak menolak. Malah dia medekapku dengan erat, seakan tak ingin lepas. Rey, andai itu dapat terulang lagi. Merasakan hangatnya sentuhan bibirmu dan dekapan hangatmu. Tapi aku tidak yakin, apakah dia memang suka aku atau karena memang terbawa suasana aja. Dia sempat minta maaf dan mengatakan bahwa dia cowok brengsek. Aku juga minta maaf karena  telah berbuat lancang seperti itu.
Tapi, waktu dia melepaskan jaketnya dan menggantungkannya di pundakku, aku yakin dia juga ada rasa kepadaku. Dia rela kedinginan demi aku. Sikapnya yang sering berubah – ubah membuatku semakin bingung. Terkadang dia pendiam, terkadang temperamental, terkadang lembut dan perhatian. Akh, aku nggak mau mengecap dia memiliki kepribadian ganda. Mungkin semua sikapnya itu mengikuti moodnya saja saat itu.
Aku tak sabar melihat sikap Rey besok kepadaku setelah kejadian tadi. Apakah dia dengan mudah melupakannya atau berpura – pura tidak terjadi apa – apa seperti waktu dia salah paham terhadapku tempo hari? Kita liat aja besok. Kuharap dia tidak melupakannya. Karena itu adalah moment yang sangat berharga dalam hidupku. My first kiss. 
Mitha mengambil jaket Rey yang tergantung di gantungan bajunya. Jaket yang tampak setengah basah itu ia dekap ke dadanya erat – erat. Bau parfum Rey yang khas membuat Mitha terbang melayang ke alam khayal. Ia merebahkan tubuhnya ke tempat tidur dengan jaket Rey berada dalam dekapannya.
“Andrey, kau berhasil membuatku tidak tidur nyenyak lagi malam ini.“ Mitha memejamkan matanya dengan seribu bayangan wajah Rey di pelupuk matanya.


♥♥♥


Pagi itu Rey meluncurkan motor Rx Kingnya menuju ke rumah Mitha. Lokasi Rumah Mitha yang melewati beberapa gang sempit membuatnya sedikit bingung. Memang itu pertama kalinya ia memasuki daerah tersebut, sehingga terlihat asing di matanya.
Motornya tiba – tiba berhenti di persimpangan gang. Ia bingung untuk memilih, apakah harus berbelok kiri atau kanan atau lurus saja. Kemarin sewaktu mengantar Mitha pulang, ia tidak melihat dengan benar ke mana ia membelokkan motornya di persimpangan gang tersebut. Karena waktu itu hari sudah gelap dan hujan rintik – rintik yang turun membuat pandangan menjadi sedikit terganggu. Akhirnya ia putuskan untuk menunggu di persimpangan gang tersebut. Matanya celingukan ke sana kemari menanti Mitha keluar dari jalur jalan yang sebelah mana. Sembari menunggu, ia mengambil sebatang rokok dari dalam tasnya. Rokok tersebut ia nyalakan dan dihisapnya pelan – pelan. Asapnya mengepul bagaikan kabut pagi yang tipis melayang – layang lalu menghilang ditiup angin.
Dari arah kanannya Mitha muncul dengan mengenakan jaket sweater berwarna pink dan tas selempangan berwarna cokelat muda. Rey melambaikan tangannya sambil tersenyum. Mitha sedikit kaget. Ia berkali – kali mengucek kedua matanya, tak percaya bahwa cowok yang melambaikan tangan kepadanya itu adalah Rey.
“Rey?“ gumam Mitha pelan. Lalu dengan langkah yang dipercepat, ia menghampirinya.
“Rey, tumben?“ tanyanya tak percaya. Rey menjawab dengan nada suara yang seperti biasa, cool dan to the point.
“Yuk berangkat,“ katanya singkat. Mitha segera naik ke motornya dan seketika itu Rey melajukan motornya dengan kencang. Seperti biasa, Mitha panik dan spontan memeluk pinggangnya.
Pagi itu adalah pagi terindah yang pernah dialami oleh Mitha. Siapa sangka cowok yang selama ini ia kagumi dan diimpikannya setiap malam, selangkah lagi hampir menjadi miliknya.
“Benar dia suka aku. Kali ini aku yakin, dia benar – benar suka aku,“ batinnya dalam hati.
Sesampai di sekolah, Rey menurunkan Mitha di depan pintu gerbang sekolah. Ia sedikit kecewa. Padahal ia berharap diturunkan di parkiran saja biar semua orang tahu bahwa ia bersama dengan Rey pagi itu.
“Makasih Rey,“ ucap Mitha mengembangkan senyuman manis ke arahnya. Rey membalas senyuman itu.
“Tha, istirahat jam kedua, aku tunggu di toilet belakang sekolah,“ ucapnya dengan menatap tajam kedua mata Mitha. Mitha mengangguk, lalu berlalu meninggalkan Rey menuju ke kelasnya dengan hati yang berbunga – bunga.
“Ya Tuhan, saat itu akan segera tiba,“ gumamnya.
Siang hari udara sangat terik. Angin seakan berhenti menyemburkan kesejukannya. Dengan wajah sedikit berpeluh Mitha melangkahkan kaki dengan cepat menuju toilet yang terletak di belakang sekolah. Dilihatnya Rey telah berdiri menanti sambil menyenderkan bahunya ke dinding. Seperti biasa ia merokok dengan wajah tak berdosa.
Mitha mendekatinya tanpa bersuara dan berdiri di hadapannya dengan membisu.
“Aku ingin berubah sesuai dengan keinginan Tuhan dan kuharap Tuhan bisa membantu,“ ujar Rey sambil mengepulkan asap rokoknya ke udara. Lagi – lagi Mitha dibuatnya bingung dengan perkataannya yang terkadang sulit untuk ditangkap apa maknanya.
“Berubah?“ tanya Mitha dengan nada heran.
“Ya, berubah. Seperti kata hati nuraniku,“ lanjut Rey hingga membuat Mitha semakin bertambah bingung. Tiba – tiba Rey memegang kedua tangannya dan meremasnya dengan lembut.
“Kau ingin tahu apa arti ciuman kemarin itu?“ tanyanya hingga membuat Mitha terperangah.
“Itulah yang ingin kutahu Rey,“ jawab Mitha dengan mata berbinar. Tak lama ia menanti sebuah jawaban meluncur keluar dari bibirnya.
“Aku mau kamu jadi pacarku,“ ucap Rey setengah berbisik. Deg! Mitha tak bisa berkata – kata setelah mendengar sebaris kalimat penuh makna tersebut. Bibirnya terasa kelu. Darah mengalir cepat dalam tubuhnya. Jantungnya berdetak sangat kencang. Tanpa sadar ia memeluk Rey. Rey membiarkan ia memeluk tubuh kekarnya.
“Aku nggak salah dengar ‘kan Rey?“ tanya Mitha dengan suara bergetar. Rey melepaskan pelukannya.
“Bukankah itu keinginanmu ‘Tha?“ tanya Rey balik. Mitha terdiam. Lalu ia kembali memeluk Rey. Kali ini ia tidak menjawab pertanyaannya. Ia lega karena Rey ternyata juga menyukainya. Suasana siang yang terasa panas bagaikan api neraka itu terasa bagaikan angin surga olehnya. Ia merasa menjadi orang yang paling bahagia di seluruh dunia. Keinginannya telah tercapai. Rey telah menjadi miliknya, miliknya seorang. Ia memeluk tubuh Rey semakin erat.
“Tertawalah kita bila kita merasa bahagia. Bersedihlah kita bila kita merasa pilu. Dan menangislah kita bila kita merasa haru. Hati itu lunak, tidak keras seperti batu..”

“Aku telah menerimanya menjadi pacarku,“ kata Rey sambil melepaskan satu persatu kancing baju seragamnya. Eric memperhatikannya dengan tatapan tak percaya.
“Ternyata kau tidak main – main Rey?“ ujar Eric dengan nada sinis. Rey tidak terima mendengar perkataan Eric yang tampak tidak mendukungnya. Ia lantas mendekatinya dan berkata keras – keras di depan wajahnya.
“Itu saranmu!! Kenapa Tidak?’ Ingat kata – kata itu!!“ bentak Rey dengan penuh emosi. Eric terdiam.
“‘Jalani kehidupanmu seperti air yang mengalir, cobalah untuk menyukainya’ itu juga katamu ‘kan ??!!!“ bentak Rey lagi. Eric membela diri.
“Kau lupa satu perkataanku, ‘Terima apa adanya diri kita,’“ sangkalnya.
“Tidak semudah itu jika kau jadi aku ‘Ric!!“
“Tapi tak kusangka kau akan mengambil keputusan secepat itu. Kukira, semua yang kau katakan padaku itu hanyalah sebuah lelucon dan tidak mungkin akan terjadi. Tapi ternyata . . . Akh . . .!!!“ Teriak Eric mengepalkan tangannya dan memukulkannya ke dinding hingga jari - jemarinya terluka. Rey tampak tak bersimpati. Ia memalingkan pandangannya ke arah yang lain.
“Kau menyesal ‘Ric telah menasehatiku dengan kata – katamu yang menenangkan? Kau juga menyesal telah memberikan saran yang benar dan lurus sementara kau sendiri tidak ingin semua itu terjadi???“ tanya Rey. Eric kembali terdiam. Ia terduduk di lantai sambil meringis menahan perih memegangi jari - jemarinya yang lecet. Rey mendekatinya dan meremas jari jemarinya  yang lecet itu dengan sangat kuat. Eric tertunduk. Ia semakin merasakan sakit yang teramat sangat. Tetes keringat tampak jatuh dari ujung rambutnya. Ia tak berani melawan.
“Ingat, aku tidak mempermasalahkan kau pacaran dengan Chaca,“ kata Rey sinis sambil terus meremas jari – jemari Eric yang lecet. Eric tampak tak tahan dengan perlakuan Rey. Dengan paksa ia melepaskan remasan tangan tersebut.
 “Aku ingin lihat, apakah kau bisa bahagia dengan keputusanmu itu,“ ucap Eric ketus, lalu ia membuka pintu dan segera meninggalkan Rey. Rey menatap Eric berlalu pergi meninggalkannya. Bibir tipisnya menyunggingkan senyuman misterius. Entah apa arti senyuman tersebut.
“Ya, Tuhan akan membantu.“

♥♥♥

Malam itu Rey mengantarkan Mitha pulang ke rumah. Seperti biasa, jalanannya menantang dengan melewati beberapa gang sempit. Kali ini Rey telah hafal dengan jalanan di gang tersebut, hingga tak perlu menunggu intruksi dari Mitha sebagai penunjuk jalan. Sesampai di depan rumah, dari dalam terdengar suara teriakan serta makian diiringi dengan suara pecahan beberapa barang pecah belah. Mendengar semua itu, Mitha mengurungkan niatnya untuk turun dari motor dan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
“Rey, bawalah aku bersamamu malam ini,“ katanya dengan suara bergetar. Ia tak kuasa membendung air matanya. Rey mengusap air mata yang jatuh meleleh di pipinya, tapi air mata itu tetap saja turun bagaikan rembesan air hujan di atap. Tanpa banyak kata Rey melajukan motornya meninggalkan pelataran rumah Mitha. Ia melajukan motornya ke kos – kosannya.
Malam sudah larut ketika mereka sampai.
“Kita sudah sampai,“ ucap Rey menggoyang – goyang tubuh Mitha yang terlihat sudah tertidur pulas di pundaknya sementara tangannya memeluk pinggangnya dengan erat. Mitha terkejut. Dengan sedikit malas ia melepaskan pelukannya dan beranjak turun dari motor Rey. Sebuah rumah petak kecil bercat putih berdiri kokoh di hadapannya. Mitha memandanginya rumah tersebut dari atas sampai bawah.
“Rey, aku bisa jelasin sama orang tua kamu. A…aku bisa tidur di mana saja. Cuma semalam saja Rey. Aku pasti bisa yakinin orang tua kamu untuk nerima aku nginep di sini semalam aja,“ katanya dengan suara bergetar dan terburu – buru.
“Ini kos-an aku ‘Tha. Nggak baca papan di depan?“ kata Rey santai seraya menunjuk papan putih bertuliskan “TERIMA KOS PUTRA DI SINI“ di depan pagar masuk. Mitha sedikit kaget melihatnya. Karena rumah tersebut tidak mirip seperti rumah kos melainkan tampak seperti rumah kontrakan yang saling berdempetan.
“Jadi nggak ada orang tuaku di sini,“ lanjut Rey lagi membuyarkan lamunan Mitha.
Kok kos yang lainnya sepi Rey?” tanya Mitha heran melihat rumah kos yang berdempet di samping kiri dan kanan kos Rey. Kos Rey berada di tengah – tengah.
“Yang tinggal di barak kos ini cuma aku. Mungkin karena masih baru dan sedikit peminatnya. Lagian kos di sini mahal. Itu karena airnya mengalir langsung ke kamar mandi, nggak kayak kos lain yang musti nimba dulu ke sumur,” jelas Rey tersenyum sambil menggiring motornya masuk ke dalam rumah. Mitha mengikutinya dari belakang. Aroma asap rokok tercium saat ia mulai berada di dalam rumah tersebut. Ia  duduk di sebuah kursi kayu bercat cokelat tua. Matanya memandang ke segala penjuru melihat ke sekeliling ruangan.
“Satu ruang tamu merangkap kamar tidur, WC plus dapur. Cocoklah buat aku yang sendiri,“ jelas Rey. Mitha tak begitu mendengarkan perkataan Rey. Matanya tertarik dengan foto yang tergantung di dinding, tepat di atas tempat tidur Rey. Ia beranjak dari tempat duduknya dan melihat dengan seksama foto yang terpampang di dinding tersebut.
“Siapa cewek ini?“ gumamnya pelan.
Rey datang dari belakang dengan membawa segelas teh celup. Mitha kembali duduk dengan perasaan curiga yang menyelingkupi. Tapi perasaan itu segera ia buang jauh – jauh dari pikirannya.
“Teh?“ tawar Rey menyodorkan segelas teh ke hadapannya. Mitha meraihnya dan segera menyeruputnya pelan. Rasa hangat langsung menyergap tubuhnya. Rey beranjak menuju ke lemari pakaiannya yang terlihat seperti rak buku.
“Gerah ya?“ ujarnya dengan mengibas – ngibaskan tangannya ke leher. Lalu dengan spontan ia membuka baju kaosnya dan menggantungkannya di gantungan. Mitha terperangah melihat tubuh kekar Rey yang mengkilap berbalut keringat itu. Tak disangkanya Rey akan berbuat seperti itu di hadapannya. Ia menahan napas. Jantungnya berdetak dengan cepat. Ia tak kuasa memalingkan pandangannya.
Rey menatap Mitha. Secepat kilat Mitha melengoskan pandangannya, berpura – pura tidak melihat apa – apa.
“Kenapa? Lihat saja. Aku tidak akan memperkosamu,“ ujarnya tersenyum. Rey kembali membalikkan badan. Ia melepaskan celana jeansnya dan dilemparkannya ke keranjang. Mitha kembali mengarahkan pandangannya ke Rey, melihatnya hanya mengenakan celana dalam. Sungguh pemandangan yang benar – benar membuat darah mudanya mengalir dengan cepat. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Rey segera mengenakan celana pendek dan menutup dada bidangnya dengan kaos tanpa lengan. Mitha membuang pandangannya ke arah yang lain. Tak bisa disangkalnya, Rey memiliki tubuh yang ideal sebagai seorang cowok. Darahnya berdesir tatkala Rey menghampiri dan duduk di sebelahnya.
“Apa yang kau lihat?“ tanya Rey pelan. Mitha pura – pura tak mendengar dan asik menyeruput teh hangatnya.
“Apa aku telah melecehkanmu?“ tanyanya lagi. Mitha menggeleng. Kemudian ia menjawab dengan suara pelan sambil menatap kedua mata Rey dengan tajam.
“Aku terpesona,“ jawabnya singkat. Rey menghela napas panjang.
“Kau tidak akan bertindak agresif seperti waktu itu ‘kan?“ tanya Rey menyalakan sebatang rokok.
“Kalau ya?“ jawab Mitha menantang. Rey terdiam sejenak. Ia memperhatikan wajah Mitha dengan lekat.
“Aku juga tidak akan memperkosamu,“ ujar Mitha tertawa kecil. Rey mengepulkan asap rokoknya.
“Sebenarnya apa yang terjadi di rumahmu,“ tanya Rey ingin tahu.
World War part 3,“ jawab Mitha tertunduk. Rey tersenyum sinis. Mitha lalu bercerita panjang lebar.
“Papaku seorang pecandu alkohol. Dia juga senang main perempuan. Terakhir dia selingkuh dengan sekretarisnya sendiri.“ Mitha menyeruput tehnya sedangkan Rey mendengarkan dengan serius.
“Walaupun begitu Mama tetap bertahan. Dia tak ingin pernikahannya hancur. Mama malu kepada Nenek jika sampai bercerai, karena dulu Nenek sempat tidak setuju Mama menikah dengan Papa. Bahkan Nenek bersikeras untuk membatalkannya. Namun, bujukan almarhum Kakek membuat hati Nenek luluh dan mengijinkan Mama menikah dengan Papa saat itu. Terkadang, penglihatan orang tua lebih jeli dari kita. Baik atau buruk sikap calon menantunya. Mama yang menjalani hubungan dengan papa dari awal, malah tidak bisa menangkap sikap buruk Papa hingga akhirnya mereka menikah,“ tutur Mitha panjang lebar sambil menerawang. Ia menghela napas seperti menahan tangis.
“Pertengkaran itu biasa terjadi Rey,“ ucapnya dengan suara yang terisak. Air mata tampak mulai mengalir membasahi pipinya. Rey mendekatkan kepalanya dan menyandarkan di bahunya. Ia mengusapnya pelan.
“Sepertinya aku ditakdirkan untuk bertemu orang seperti kau ‘Tha,“ kata Rey tiba – tiba.
“Maksudmu?“ tanya Mitha sedikit heran.
“Kita sama, senasib. Tapi bedanya, kedua orang tuaku telah bercerai. Ayah menikah lagi, sedangkan Ibu depresi dan dibuang Ayah ke rumah sakit jiwa,“ ujar Rey dengan nada miris. Mitha terkejut setelah Rey menceritakan tentang keadaan keluarganya. Tak disangkanya keadaan keluarganya sama dengan dirinya.
“Di mana ayahmu saat ini Rey?“ tanya Mitha.
“Ada di kota ini. Masih tinggal di rumah kami yang dulu bersama istri mudanya. Pasti kau bertanya – Tanya, kenapa aku memilih tinggal di kos – kosan sementara rumahku ada di kota ini. Ini semua karena istri muda Ayah. Dia lebih tua dariku 3 tahun. Dia tertarik kepadaku. Suatu hari, disaat Ayah terlambat pulang dari kantor, dia mencoba merayuku. Mengajakku ke tempat tidur di mana dia dan Ayah tidur bersama. Dia memaksa aku untuk mencumbuinya. Tapi aku menolaknya mentah – mentah. Akh!!! Aku muak bila ingat kejadian itu. Keesokan harinya, aku minta kepada Ayah untuk keluar dari rumah dan memilih tinggal di kos. Ayah menanyakan apa masalahnya. Tentu saja aku tidak menceritakan tentang kelakuan istri mudanya itu terhadapku disaat Ayah tak ada.”
“Aku hanya beralasan, aku ingin hidup mandiri. Biarlah Ayah hancur karena perbuatannya sendiri. Aku tahu istri mudanya itu tidak mencintainya. Dia hanya menginginkan uang Ayah saja. Ayah menyetujuinya. Lalu, jadilah aku tinggal di sini. Semua biaya hidup, Ayah yang menanggung. Sebenarnya aku benci bila harus menerima uang dari Ayah. Apalagi bila ingat dia pernah menyakiti hati Ibu hingga membuat Ibu depresi dan harus tinggal di rumah sakit jiwa entah sampai kapan. Tapi aku tidak bertindak bodoh. Itu memang sudah kewajibannya kok? Dari pada uangnya habis dipelorotin sama istri mudanya itu, mending aku minta ini itu yang sebenarnya tidak perlu,“ cerita Rey panjang lebar. Mitha tak sedikitpun melewatkan setiap penggalan cerita yang keluar dari mulut Rey.
“Seandainya Ibu tidak begitu. Aku lebih memilih tinggal bersamanya. Biarlah kami hidup susah. Aku bisa bekerja untuk membantu keuangan. Dari pada harus menerima uang dari Ayah,“ ujar Rey dengan suara yang sedikit bergetar. Matanya berkaca – kaca menahan tangis. Ia berusaha menahan tangis tersebut dan tak ingin menangis di depan Mitha. Ia berusaha bersikap tegar. Namun, hati tak bisa dibohongi. Mitha segera memeluk Rey dengan hangat.
“Menangislah Rey,“ ujar Mitha. Seketika itu titik air mata mulai jatuh membasahi pipinya. Mitha mengelus pundaknya pelan
“Tak apa Rey. Selagi kita masih diberikan kesempatan menangis untuk menumpahkan kesedihan, menangislah. Kita ini manusia, bukan batu yang tak mempunyai perasaan.“


♥♥♥

 11 p.m.
Rey merebahkan tubuhnya di atas selembar tikar dengan tangan sebagai bantalnya. Sementara itu Mitha berbaring di atas tempat tidurnya dengan mata yang belum terpejam. Ia melihat Rey berbaring di tikar dengan perasaan yang tak enak. Dilihatnya mata Rey belum juga terpejam. Pandangannya lurus melihat ke atas langit – langit kamar. Entah apa yang ada di pikirannya.
“Aku ini cengeng ya?“ katanya tiba - tiba dengan suara yang sedikit serak. Mitha tersenyum.
“Aku juga,“ jawab Mitha singkat.
“Wajar kau cewek,“ lanjutnya lagi sambil menatap Mitha yang terbaring dengan lekuk tubuh yang sempurna.
Emang cowok nggak boleh nangis?“ tanya Mitha. Rey tak menjawab.
“Apa itu penghinaan bagimu Rey karena telah menangis di depanku?“ sambung Mitha.
“Bagiku tak sepantasnya,“ ujar Rey membalikkan tubuhnya membelakangi Mitha.
“Tak begitu menurutku. Bagiku, cowok yang bisa menangis adalah cowok yang berhati lembut. Nggak keras hati dan egois. Dengan begitu, dia bisa memahami perasaan cewek dan nggak akan pernah menyakitinya,“ jelas Mitha.
 “Aku masuk kriteria yang kau sebutkan,“ ujar Rey tertawa kecil.
“Rey, jaket kamu ada di rumahku.“
“Untuk kamu saja. Bila kau rindu aku, pakai saja jaketnya. Aku pasti ada di dekatmu.“
Suasana malam menjadi hening. Tidak ada lagi suara – suara yang keluar dari bibir mereka berdua. Hanya suara jangkrik yang menghiasi suasana malam yang sepi disertai dengan desiran angin malam yang membelai lembut setiap jiwa – jiwa yang terbang melayang ke alam mimpi.
Mitha beranjak bangun dari tempat tidurnya. Ia mendekati Rey yang berbaring di lantai dengan menggunakan sehelai tikar. Ia memperhatikan wajahnya yang telah tertidur pulas. Rambut Rey yang lebat dan hitam itu ia usap dengan penuh kehangatan.
“Kenapa kau tak jadi brengsek saja malam ini Rey? Padahal jika kau melakukannya, aku pasrah. Karena dengan begitu kau akan jadi milikku selamanya. Tapi kau bukan mereka Rey, yang hanya memandang cinta dari nafsu belaka. Kau berbeda,“ ucap Mitha dengan suara setengah berbisik di telinga Rey.
Ia mengecup kening Rey dengan hangat sambil mengucapkan kata selamat tidur. Kemudian ia meraih bantal yang berada di atas tempat tidur dan meletakkan di sebelahnya. Perlahan ia merebahkan tubuhnya. Ia memeluk pinggang Rey dengan erat seakan Rey adalah bantal guling baginya. Lalu ia memejamkan kedua matanya dan berharap esok pagi adalah pagi yang ceria untuknya.

♥♥♥

“Apa yang kau lakukan semalam terhadapku?“ tanya Rey sambil menghisap batang rokoknya. Mitha tak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil penuh arti.
“Kau akan mengantarkanku pulang ‘kan?“ ujar Mitha mengalihkan pembicaraan. Rey  memandang wajahnya.
“Aku akan mengantarkanmu bila kau telah siap,“ ucap Rey membelai lembut pipinya yang halus. Mitha membalasnya.
“Kau adalah alasanku untuk siap menerima masalah ini.“
Pagi itu Rey mengantarkan Mitha pulang ke rumahnya. Di tengah perjalanan mereka berdua tidak banyak bicara. Udara pagi yang basah mengiringi perjalanan mereka. Sesampai di depan rumah, Mitha segera masuk ke dalam rumah. Sementara Rey telah berlalu meninggalkan pelataran rumahnya.
“Siapa laki – laki itu?“
Mitha sedikit tersentak. Langkahnya terhenti di tangga atas menuju ke kamarnya. Mitha segera menoleh dan menatap Ibunya dengan tajam.
“Apa peduli Mama?!“ jawab Mitha dengan ketus. Ibunya segera menghampirinya dengan wajah yang kesal.
“Mau jadi apa kamu! Anak gadis jalan dengan laki – laki sampai semalaman nggak pulang!!“ bentak Ibunya hingga membuat Mitha turut emosi.
“Mama yang mau jadi apa!? Bertahun – tahun Mama tersiksa batin oleh Papa. Apa yang Mama lakukan? Bisanya cuma pasrah dan menangis. Kapan itu semua akan berakhir Ma?!“ bentak Mitha tak mau kalah.
“Tahu apa kamu masalah orang tua?“
“Mama dan Papa sama aja. EGOIS!!! Coba Mama ngertiin perasaan aku sedikit aja? Aku bosan hidup di dalam rumah ini yang setiap hari bagaikan neraka,“ ucap Mitha dengan berurai air mata. Ibunya terdiam.
Malem tadi aku pulang. Tapi aku nggak jadi masuk. Tentunya Mama tau apa yang terjadi semalam,“ ujar Mitha sinis. Ibunya masih terdiam. Lalu dengan berurai air mata ia terduduk di kursi sofa.
“Semalam Papa minta bercerai,“ ucapnya dengan suara serak. Mitha menghampiri Ibunya.
“Mama menyetujuinya?“ tanya Mitha.
“Ketakutan Mama yang terbesar selama ini akhirnya datang juga.“
Mitha memegang kedua tangan Ibunya dengan erat.
“Aku tau itu sangat berat untuk Mama. Tapi, hanya itulah jalan keluar satu – satunya. Lupakan gengsi Mama terhadap Nenek.“
Nggak semudah itu Mit.“
Mitha berdiri lalu berkata – kata dengan suara yang tinggi.
“Mama harus bisa mengambil sikap. Sampai kapan Mama akan terus begini!!? Sekarang Papa di mana?“
Ibunya tak menjawab. Suasana menjadi hening. Hanya suara isak tangis pilu yang terdengar. Mitha meninggalkan Ibunya sendirian dan langsung naik ke kamarnya. Di dalam kamar ia merebahkan tubuhnya. Matanya menerawang. Pikirannya kembali terbayang akan Ibu Rey yang menjadi depresi gara – gara bercerai.
Nggak, aku nggak mau semua itu terjadi. Mama tidak seperti itu. Dia bukan seorang wanita yang rapuh. Dia wanita yang tegar. Kalau tidak seperti itu mana mungkin Mama bisa bertahan sampai selama ini dengan pernikahannya yang sudah tak pantas lagi disebut sebagai sebuah pernikahan.“
 Ia beranjak dari tempat tidurnya dan kembali menghampiri Ibunya yang masih duduk terdiam di sofa.
“Ma, maafin Mitha tadi.“
Ibunya menatap Mitha lalu segera memeluknya.
“Kamu benar Mit. Mama memang harus mengambil sikap. Tidak seharusnya Mama pasrah dan menangis saja melihat tingkah Papamu yang semakin menjadi – jadi.“
Mitha menghela napas yang panjang lalu melepaskan pelukan Ibunya.
“Mama yang tegar ya? Aku nggak pengen liat Mama nangis dan sedih lagi,“ katanya sambil mengusap air mata yang meleleh di pipi Ibunya. Mereka berdua kembali berpelukan erat melupakan sejenak kesedihan dan Mitha berharap neraka itu akan segera berakhir dengan cepat.
Rumah Sakit Jiwa, SungaiLiat.

Pohon beringin besar menjatuhkan daun – daunnya yang kering ke tanah. Beberapa tampak melayang – layang ditiup semilir angin hingga menyerupai segerombolan kupu – kupu berwarna coklat tua yang sedang terbang melayang – layang. Dari ujung koridor tampak Rey berjalan menuju ke sebuah ruangan yang terletak agak berjauhan dari ruangan yang lainnya. Ruangan bercat warna putih – putih itu mempunyai jendela yang terlihat seperti bukan jendela, melainkan seperti jeruji – jeruji besi pintu penjara. Di bagian dalam tampak sebagian cat telah usang warnanya dan mengelupas.
Rey berdiri terpaku di ambang pintu ruangan tersebut. Di sampingnya berdiri seorang Dokter dan Suster. Rey menghela napas yang panjang lalu ia menoleh ke arah Dokter dengan tatapan penuh tanya.
“Apakah sekarang sudah baik – baik saja Dok?“ tanyanya.
“Sekarang sudah tampak lebih tenang dari sebelumnya,“ jawab Dokter tersebut.
“Kapan Ibu akan membaik?“
“Kami tidak tahu, sebab luka hati Ibumu teramat dalam. Mungkin dengan kau rajin mengunjunginya ke sini, dia bisa berangsur – angsur pulih,“ jawab Dokter menepuk pelan bahu Rey.
Suster mengeluarkan kunci dari dalam sakunya, lalu dengan kunci itu ia membuka pintu ruangan tersebut. Di dalam ruangan terlihat seorang wanita tengah duduk terdiam di pinggir ranjang. Rambutnya terlihat kusam dan sedikit acak – acakan. Rey menghampirinya dengan perlahan. Ia berdiri tepat di hadapannya.
“Bu, apa kabar? Ini Rey. Maaf, akhir – akhir ini Rey jarang jenguk Ibu. Rey harap Ibu tidak marah ya?“ ucap Rey dengan hati - hati. Ibunya menatap wajah Rey dengan tajam sambil mengelus kedua pipinya.
“Andrey . . . . ini Andrey?“ ucapnya menangis.
“Ya Bu, ini Andrey anak Ibu,“ balas Rey.
Perlahan Ibunya melepaskan kedua tangannya dari pipi Rey lalu wajahnya tiba – tiba berubah menjadi penuh amarah.
“Pergi . . .  pergi . . . .  !!!!“ teriak Ibunya keras. Rey tersentak kaget.
“Bu! Ibu kenapa . . . . ??“ tanya Rey heran.
“Kau anak dari laki – laki yang telah menceraikanku ‘kan?!“ teriak Ibunya menunjuk - nunjuk Rey.
“Tapi aku juga anak Ibu!!“
“PERGI . . . PERGI!!!!!“ teriak Ibunya sekali lagi sambil melemparkan segala benda yang terdapat di ruangan tersebut ke arah Rey. Ia tertunduk, lalu dengan langkah yang gontai ia keluar dari ruangan tersebut. Dua orang suster penjaga pun segera masuk dengan membawa suntikan obat penenang. Ia melihat Ibunya dengan hati yang pilu. Tak sadar air mata telah meleleh di kedua pipinya.
Sementara itu di dalam ruangan suster sibuk menenangkan Ibunya dengan mengikat tangan dan kakinya dengan tali agar memudahkan untuk disuntik obat penenang. Rey tak sanggup melihat adegan tersebut. Ia segera beranjak pergi meninggalkan ruangan tersebut. Ia kembali memaki perbuatan ayahnya yang dahulu terhadap Ibunya.
“Sekarang Ayah puas membuat Ibu menderita!!!!“ teriaknya keras menumpahkan segala kekesalan terhadap Ayahnya yang tak pernah sekalipun datang mengunjungi Ibunya. Semua mata memandang Rey dengan perasaan iba.
Rey terduduk lemas di bawah pohon beringin yang sedang menggugurkan daun – daunnya yang kering. Ia menangkap sehelai daun kering yang jatuh tepat di depannya. Daun tersebut mendarat mulus di telapak tangannya. Dengan perasaan yang penuh amarah ia meremas helai daun kering tersebut hingga hancur berkeping – keping. Kepingannya menghambur di udara bagaikan debu yang berterbangan.

♥♥♥

 Siang itu udara di taman berhembus semilir. Cuaca yang panas menjadi tidak terasa. Pohon – pohon bergoyang – goyang pelan. Suara dahannya yang gemerisik berpadu dengan suara kicau burung – burung kecil yang hinggap di atasnya. Di bangku taman Rey dengan santai menghisap batang rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara. Sementara itu, Mitha asik memperhatikan suasana di sekelilingnya.
“Kemarin aku menjenguk ibu,“ ucap Rey memecah kebisuan. Mitha berpaling ke arahnya.
Kok nggak ngajak aku Rey? “ tanya Mitha.
“Aku telpon kamu kemarin, tapi hape kamu nggak aktif. Trus aku jemput ke rumah, kamu nggak ada,“ jawabnya memberi alasan.
Sorry, kemarin aku ke rumah Nenek bareng Mama. Nenek sakit keras Rey.“
“Keadaan Mama kamu sekarang?“
Mitha menarik napas.
“Itulah Rey. Mama telah bulat hati ingin bercerai dengan Papa, begitu juga sebaliknya. Tapi melihat kondisi Nenek yang seperti itu, kami semua takut keadaannya akan bertambah buruk,“ jelas Mitha. Rey mendekatkan kepalanya di pundaknya.
“Tenanglah ‘Tha, semuanya pasti akan baik – baik saja,“ ucap Rey menenangkan hatinya.
“Makasih Rey. Apa jadinya bila tidak ada kamu di sampingku saat ini. Mungkin aku akan menjalani hari – hariku dengan penuh kesedihan seperti  sebelumnya.“
“Kondisi Ibuku juga sama seperti waktu pertama kali dia masuk ke rumah sakit. Ruangannya pun masih sama. Dia belum boleh bergaul dengan pasien lainnya,“ ujar Rey menerawang. Asap rokok terus mengepul keluar dari mulutnya. Mitha menatap wajah Rey dengan iba.
“Kamu yang sabar ya Rey. Ibumu mungkin perlu diberi sedikit pengertian bahwa itu semua telah terjadi. Mau tidak mau dia harus menerimanya.“
Mendengar perkataan tersebut seketika Rey beranjak dari tempat duduknya dan berkata dengan suara yang keras.
“Tidak sesederhana itu ‘Tha!!!“
Suaranya mengejutkan orang – orang di sekitarnya.
“Rey????“ tatap Mitha heran. Rey tersadar lalu ia kembali duduk dengan wajah yang berusaha untuk tenang.
“Maafkan aku ‘Tha, aku nggak ada maksud . . . ,“ perkataannya terputus karena Mitha buru – buru menyelanya.
Udah. Aku ngerti kok perasaan kamu saat ini.“
“Kau tahu apa yang terjadi kemarin. Ibu berteriak - teriak mengusirku keluar. Dia memaki – maki diriku. Katanya, aku adalah anak dari orang yang telah menceraikannya. Padahal aku juga anaknya. Semua itu imbas dari kelakuan Ayah yang tak punya perasaan.“
Mitha mendengarkan cerita Rey dengan serius. Tapi ia tidak bisa berkata apa – apa. Masalah yang dihadapi oleh Rey sangat complicated. Butuh perjuangan dan pengorbanan yang lebih untuk bisa menyadarkan Ibunya kembali. Ia tak tahu solusi apa yang bisa ia beri ke Rey. Hanya dengan menjadi pendengar setianyalah ia bisa sedikit membantu melegakan hatinya.
Dari kejauhan tampak Eric berjalan sambil menggandeng tangan Chaca dengan mesra. Rey menyadari kehadiran mereka berdua di taman itu, tapi ia pura – pura tidak tahu dan berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain. Lantas, ia buru – buru menggamit tangan Mitha dan mengajaknya pergi dari tempat tersebut sebelum Eric mengetahuinya. Namun sudah terlambat. Eric melihatnya dan memanggilnya dari kejauhan.
“Rey…..!!!“ panggil Eric dengan keras. Ia mendekatinya dengan Chaca berada di sampingnya. Langkah Rey terhenti.
“Eric,“ ucap Rey malas. Mitha menyambutnya dengan hangat.
“Hey, temennya Rey?“ tanya Mitha antusias.
“Kenalkan, aku Eric dan ini Chaca,“ kata Eric menjulurkan tangannya.
“Aku Mitha,“ ucap Mitha membalas jabat tangan Eric.
“Pacarnya Rey?“ tanya Chaca.
“Iya, kamu pacarnya Eric?“ tanya Mitha balik. Chaca mengangguk sambil melirik mesra Eric.
“Eh, kebetulan ya ketemu di sini. Jadi kita bisa hang out bareng,“ ucap Chaca riang. Mitha tersenyum tapi tidak dengan Rey. Ia tampak tidak senang dengan kehadiran mereka berdua, lalu buru – buru menyeret tangan Mitha pulang.
“Pulang yuk!!“ ajak Rey buru – buru.
Ntar dulu kenapa sih Rey? ‘Kan ketemu temen lama, ngobrol – ngobrol dulu kek sebentar,“ pinta Mitha tersenyum ke arah Rey.
Rey masih menunjukkan raut wajah yang tidak senang. Ia menatap mata Eric dengan tajam. Eric tersenyum dikulum, sementara Rey membalasnya dengan seringai sinis. Chaca memperhatikannya dengan heran.
“Kalian berdua kenapa sih? Ya udah biar ngobrolnya enak, kita hang out aja di kafé depan situ. Aku yang traktir,“ ajak Chaca mencairkan suasana.
“Wah, boleh tuh,“ ucap Mitha gembira.
Lalu mereka berdua menyeret tangan pasangan masing – masing. Sesampainya di kafé suasana masih sedikit kaku. Eric mencoba memulai perbincangan.
Kok nggak pernah cerita kalo udah punya cewek, Rey?“ tanya Eric pura – pura tidak tahu. Rey melirik sinis. Ia tidak menjawab pertanyaan Eric. Ia tahu Eric hanya sekedar berbasa – basi. Chaca kembali mencairkan suasana.
“Eh, tadi dari mana aja ‘Tha?“ tanya Chaca.
“Oh, Cuma duduk aja kok sambil ngobrol, kamu?“
“Sama.“
Suasana kembali kaku. Mitha sibuk mengaduk – ngaduk minumannya dengan sedotan, sementara Chaca tidak tahu lagi harus bicara apa. Rey dan Eric terus saja bertatap – tatapan penuh makna. Mereka saling menghujam satu sama lain. Tiba – tiba Eric mengalihkan tatapannya ke Mitha. Matanya liar menyusuri lekuk – lekuk tubuh Mitha dengan detail dari atas sampai bawah. Jakunnya terlihat naik turun. Entah pikiran apa yang ada dalam otaknya. Ia begitu mengagumi kecantikan yang terpancar dari wajahnya. Rey tidak suka melihat itu semua.
“Ric, bisa ikut aku sekarang. Aku mau bicara.“
Mendengar ucapan Rey, Eric sedikit kaget. Begitupun dengan Chaca dan Mitha.
“Kenapa nggak ngomong di sini aja Rey?“ ucap Chaca tersenyum. Rey tampak tak terpengaruh.
Cepet ‘Ric!!“
Rey lalu menarik tangan Eric dengan keras. Mau tidak mau Eric beranjak dari tempat duduknya. Mitha heran melihat tingkah laku Rey, “Ada apa dengan Rey?“ gumamnya. Rey terus menyeret Eric hingga sampai ke belakang kafé.
“Apa maksud kamu menatap Mitha seperti itu?“ tanya Rey dengan membentak. Eric tertawa kecil mengejek.
“Maksud kamu apa?“
“Jangan coba – coba menatap Mitha seperti itu lagi. Memangnya aku tidak tahu apa yang ada di otak kamu? Jangan samakan dia dengan Chaca yang murahan itu!!“
“Hey, Chaca yang mau. Jadi dia tidak murahan. Kita sama – sama suka.  Malah aku kasian sama Mitha. Apa dia bahagia berpacaran dengan kamu?“ ujar Eric sinis.
Bruugggg!!! Rey memukul Eric hingga ia terjerembab jatuh ke tanah. Eric tak membalas. Lalu dengan sempoyongan ia berdiri dengan hidung mengeluarkan darah.
“Kau puas sekarang Rey?“ ucap Eric sambil menyeka darahnya yang terus mengalir keluar. Buru – buru ia kembali ke meja dan menyeret paksa Chaca pulang.
“Ayo, kita pulang sekarang!!“ seret Eric dengan hidung penuh dengan darah.
“Ric, kamu kenapa?“ tanya Chaca panik melihat darah segar keluar dari lubang hidung Eric.
“Udah!!!“ bentak Eric.
Eric berhasil membawa Chaca keluar dari kafé tersebut dan menyeretnya pulang. Sementara Rey tiba di meja dengan wajah emosi. Mitha tak habis pikir melihat tingkah laku Rey yang tiba – tiba berubah menjadi brutal seperti itu.
“Ada apa sih Rey?“ tanya Mitha heran. Rey tidak menjawab.
“Kamu seharusnya jangan bawa - bawa persoalan keluarga kamu dengan melampiaskannya ke teman kamu?!“ ujar Mitha menasehati.
“Ini nggak ada hubungannya dengan itu ‘Tha, ini masalahku dengan dia. Ayo kita pulang sekarang?“ ajaknya mencengkram erat tangan Mitha.
Nggak!!! Aku nggak mau pulang sampai kamu jelaskan ke aku apa masalahnya,“ ujar Mitha bersikeras.
Rey tiba – tiba berkata dengan keras penuh emosi hingga mereka berdua menjadi pusat perhatian di kafé tersebut.
“Kamu mau tahu!!! Dia tadi menatap kamu dengan tatapan penuh nafsu. Aku tahu apa yang ada di pikirannya. Dia itu playboy ‘Tha!!!“ ucap Rey keras.
“Kamu nggak bisa seenaknya menilai orang kayak gitu!!“ bentak Mitha dengan mata berkaca – kaca. Melihat itu, Rey berusaha meredam emosinya.
“Maaf ‘Tha. Aku hanya nggak ingin kehilangan kamu,“ ucap Rey memeluk Mitha dan mengusap punggungnya pelan.
“Aku nggak mau kamu jadi overprotective gitu sama aku. Kamu memang pacarku, tapi kamu juga nggak berhak melarang aku untuk bergaul sama orang lain,“ ucap Mitha terisak
“Ya udah lupakan. Sekarang kita pulang?“
Mereka berdua keluar dari kafé tersebut dan menuju ke parkiran. Di sana Rey bersiap menghidupkan motornya, tapi tiba – tiba handphonenya berdering. Nomor tanpa nama tertera di LCDnya. Rey mengangkatnya.
“Halo, siapa ini?“
“Ah . . . Rey, Mitha itu cantik ya? Ingin rasanya aku mencumbu bibirnya yang mungil itu. Membelai rambutnya yang panjang dan menelusuri tubuhnya yang putih mulus. Maaf Rey jika aku berkata - kata seperti itu. Apa semua itu bisa kau lakukan?“


♥♥♥



                                                                                                             22  April  2004
Dear diary
Hai, sudah lama sekali aku nggak nulis kamu lagi. Semenjak kejadian aku berciuman dengan Rey di saat hari turun hujan dengan lebatnya. Tau diary? aku sekarang telah jadian dengan Rey. Dia menembakku di belakang toilet sekolah. Walaupun kedengarannya kurang romantis karena di ucapkan di toilet sekolah. Tapi aku tak peduli. Yang penting bagiku adalah ternyata Rey juga mencintaiku seperti aku juga mencintainya.
Dua minggu berjalan, hubungan kami berdua berjalan dengan lancar. Tak ada konflik – konflik yang begitu berarti. Rey yang tadinya pendiam, kini menjadi sedikit lebih terbuka dengan curhat kepadaku tentang masalah keluarganya. Ternyata di balik sikap coolnya selama ini, tersimpan sejuta duka dan kesedihan yang begitu mendalam. Mungkin, masalah itulah yang selama ini dia pendam hingga pernah suatu waktu dia berkata, “Kenapa aku diciptakan sebagai manusia, kenapa tidak diciptakan menjadi awan saja yang tak perlu menanggung banyak masalah seperti halnya manusia“.
Suatu kebetulan masalah yang dihadapinya sama denganku, walaupun terdapat sedikit perbedaannya. Kami berdua sama – sama dari keluarga yang broken home. Tapi aku masih sedikit beruntung, karena masih ada ibu yang menyayangiku. Sementara Rey tidak. Ibunya depresi karena perceraiannya dan mendekam di rumah sakit jiwa. Sementara ayahnya, walaupun ia peduli dengan Rey dengan memberikan segala fasilitas, namun itu semua tidak bisa menggantikan hebatnya sebuah kasih sayang orang tua. Bagi Rey, kasih sayang  orang tua itu mahal harganya.
Aku pun mengerti jika masalahnya yang berat itu sampai terbawa – bawa dalam hubungan kami. Sikapnya yang sering berubah – ubah, kini bisa aku maklumi. Tapi kejadian kemarin benar – benar tidak bisa kupahami. Dia tega menghajar teman sendiri hanya lantaran temannya itu memandangi aku terlalu lekat. Memang aku tidak menyadari hal itu, tapi tidak seharusnya Rey bertindak emosi dan menghajar temannya itu. Aku tidak mau dia jadi overprotected begitu terhadapku.
Tapi ada yang aneh dengan sikap Rey saat berjumpa dengan temannya itu di taman kemarin. Dari awal dia memang sudah tidak suka melihat Eric datang dan menyapanya. Sepertinya memang ada masalah yang sudah terjadi sebelumnya dan belum terselesaikan. Hah, aku tidak tahu apa masalah itu. Tapi tampaknya masalah di antara mereka berdua lumayan berat. Seharusnya, sebagai pacarnya dia aku perlu tahu apa masalahnya. Mungkin aku bisa membantu walaupun sedikit. Tapi, itulah Rey. Butuh waktu baginya untuk bisa menceritakan semua masalahnya terhadapku, seperti masalah keluarganya yang baruku ketahui akhir – akhir ini. Rey, mengapa masih selalu saja ada rahasia – rahasiaan di antara kita berdua.
Pantai Tanjung Kelayang, SungaiLiat.

Udara pantai berhembus sepoi – sepoi menyejukkan, menyibakkan panasnya sinar matahari yang terlalu garang memancarkan sinarnya. Ombak kecil dengan buih – buih putihnya bergulung cepat seolah berlomba satu sama lain untuk dapat sampai dengan segera ke tepian. Langit terlihat cerah. Gerombolan awan putih bergerak perlahan - lahan ditiup angin. Iringan Burung – burung camar terbang ke sana – kemari menghiasi langit yang biru. Rey berjalan beriringan bersama Mitha menyusuri tepi Pantai Tanjung Kelayang yang masih terlihat eksotis panoramanya dengan hamparan pasir putih yang bersih dan deretan batu – batu pantai yang besar, berdiri kokoh seperti hendak menunjukkan keangkuhannya.
“Indah ya Rey?“ ujar Mitha pelan. Rambutnya terkibar melayang –layang ditiup angin. Rey terpesona melihatnya.
“Ya Indah, seperti kamu,“ puji Rey. Mitha tertawa lalu mencubit gemas pinggangnya.
Tuh, mulai gombal ‘kan?“
Suerrr, Emang bener kok,“ tukas Rey dengan mengacungkan kedua jari tangannya ke atas. Mitha tertawa kecil, lalu ia memuncratkan air  ke tubuhnya.
“Ha . . . Ha . . . , Emang enak basah? Itu hukuman karena kamu telah gombal sama aku,“ ejeknya sambil berlarian kecil. Rey berlari mengejarnya hingga mereka berdua sampai di atas sebuah batu granit besar yang berada di ujung pesisir pantai. Mitha berjalan pelan menuju ujung batu granit tersebut. Ia merentangkan kedua tangannya dan memejamkan matanya.
“REY . . . AKU TERBANG!!!“ teriaknya keras. Rey mendekatinya perlahan dan memeluk pinggangnya erat. Dari dalam sakunya ia merogoh seuntai kalung liontin berbentuk bulat warna perak yang engselnya dapat dibuka untuk menyisipkan foto. Diam – diam ia mengalungkannya ke leher Mitha.
“Apa ini Rey?“ tanya Mitha tersadar setelah ada sebuah benda yang dikalungkan di lehernya.
“Ini kalung liontin pemberian Ibuku. Katanya, berikanlah kalung liontin ini kepada wanita yang kamu cintai untuk pertama kalinya,“ ujar Rey. Mitha tertawa bahagia mendengarnya.
“Makasih Rey. Apa benar aku First lovenya kamu? Trus, foto cewek yang ada di kamar kamu itu?“ tanya Mitha. Rey diam sejenak. Ia lalu menjawab sambil menerawang  mengenang peristiwa memilukan yang terjadi dua tahun yang lalu.
“Oh, itu foto adikku. Dia meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakan bis.“  Mitha terkejut mendengarnya. Ia kira cewek itu adalah mantan pacarnya.
“Aku turut berduka Rey. Aku minta maaf karena sebelumnya aku telah menyangka cewek itu adalah mantan pacar kamu.“
Nggak apa – apa. aku memang dekat dengannya. Dia adik yang manis. Dulu juga orang banyak mengira kami berdua pacaran.” Rey tertawa kecil.
“Wajar, karena umurnya hanya terpaut satu tahun dariku,“ lanjutnya.
“Dia cantik ya Rey?“ puji Mitha.
“Aku selalu sedih bila mengenang kepergiannya yang begitu tragis. Coba seandainya dia mendengarkan perkataan ibu dan tidak ikut berdarmawisata pada hari minggu itu. Mungkin semua itu tidak akan terjadi,“ ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar.
“Semua itu takdir Rey. Hidup dan mati manusia, kita serahkan saja kepada Tuhan yang ada di atas sana. Semuanya telah diatur.“
Rey menggandeng tangan Mitha dan mengajaknya duduk di bawah pohon beringin rindang yang tumbuh di atas celah batu granit tersebut. Akar – akarnya yang kuat menghujam batu tersebut laksana ular phython yang meliuk – liuk melilit dengan kuatnya.
“Apa definisi cinta sejati menurutmu ‘Tha?“ tanya Rey tiba - tiba. Mitha mengernyitkan dahinya. Terbersit rasa aneh mengapa Rey tiba – tiba bertanya seperti itu kepadanya.
“Aku pernah baca sebuah kata mutiara tentang cinta. Bunyinya begini: “Cinta sejati itu seperti hantu, hampir semua orang membicarakannya tapi hanya sedikit saja orang yang benar – benar pernah menjumpainya,“ jawab Mitha.
“Cinta itu kadang menipu, terlihat mencinta diluar, tapi tidak dalam hatinya,“ sambung Rey  sinis.  Mitha menatap kedua matanya.
“Tapi kau mencintaiku ‘kan Rey?“ tanya Mitha. Rey malah balik bertanya.
“Apakah hubungan kita berdua ini bisa disebut cinta sejati,“ tanya Rey serius.
“Aku tidak bisa bilang hubungan kita ini disebut cinta sejati atau tidak. Namun yang jelas, selama hubungan kita baik – baik saja tak akan ada masalah yang datang menghadang,“ jawabnya menyakinkan.
“Tapi, suatu saat kerikil - kerikil tajam itu pasti akan datang juga walaupun kita menjalaninya dengan baik – baik saja. Dia akan datang dengan sendirinya tanpa kita inginkan.“
“Aku tidak ingin kerikil – kerikil tajam itu datang menghancurkan hubungan kita. Aku yakin, kita berdua pasti bisa melaluinya,“ ucap Mitha menyenderkan kepalanya di pundak Rey yang kekar. Rey membelai rambutnya.
“Andai saja kau tahu kerikil tajam itu,” batinnya.

♥♥♥

“Rey,Rey!! Apa kau ada di rumah Rey?“ teriak Eric dari luar dengan nada suara yang bergoyang – goyang. Malam itu ia terlihat sedikit mabuk. Rey mendengar teriakan tersebut dan dengan penuh emosi ia langsung membuka pintu.
“Kau!!!“ ucap Rey mencengkram kerah baju Eric dan mendorongnya ke dinding. Eric tersudut tak bisa berkutik apa – apa. Ia pasrah menerima ocehan Rey yang terlihat penuh amarah.
“ Untuk apa kau datang – datang lagi ke sini?“
“Tenang . . . tenang Rey, maafin aku . . . aarghh . . . !!!“ ucap Eric dengan suara sedikit tercekik. Rey semakin menunjukkan amarahnya.
“Telepon yang kemarin itu kamu ‘kan!!? Apa maksud kamu bicara seperti itu!!“
“Lepasin Rey . . . tolong . . . aarghh . . . !!“
Melihat Eric yang semakin tak berdaya Rey melepaskan cengkraman tangannya.
“Aku nggak ada maksud untuk ngomong kayak gitu. Sorry, waktu itu aku emosi,“ jelas Eric dengan suara bergetar.
“Sekarang mau kamu apa? Asal kamu tahu, jalan hidup kita kini telah berbeda. Kamu dengan Chaca dan aku dengan Mitha. Impas ‘kan?“
“Tapi Rey?“
“Tapi apa ‘Ric? Terus terang aku bosan menjalani hidup kotor seperti ini. Aku merasa tidak punya identitas diri. Siapa aku ini sebenarnya?“ ucap Rey.
“Mana Rey yang dulu?!“ sahut Eric.
“Rey yang dulu telah mati, sekarang berganti Rey yang baru. Kuharap ini terakhir kalinya kita bertemu,“ pinta Rey.
Eric terdiam mendengar kata – kata yang keluar dari mulut Rey. Ia terkejut dan kecewa. Namun, tiba – tiba sorot matanya berubah menjadi licik.  Diam – diam ia mengeluarkan handphone dari dalam sakunya.
“Tapi kau lupa satu hal Rey?“ ucap Eric dengan nada suara licik. Rey menoleh ke arahnya. Dengan sigap Eric membuka kartu as yang selama ini dipegangnya. Sebuah video berdurasi singkat dalam handphonenya ia tunjukkan kepada Rey.
Rey terbelalak melihat rekaman video tersebut. Ia tak habis pikir bagaimana Eric bisa selicik itu merekamnya dan bodohnya ia bisa sampai kecolongan seperti itu. Ia benar – benar tidak menyangka kalau Eric bisa melakukan hal – hal yang nekat seperti itu.
“Apa – apaan ini ‘Ric?!!“ ucap Rey terkejut.
“Tentu kau masih ingat Rey rekaman video ini. Sorry, terpaksa aku mengeluarkannya.“
“Sini!! Berikan padaku!!“ sergah Rey seraya ingin menyerobot handphone yang berad di tangan Eric. Namun dengan tangkas Eric menampis tangannya.
Nggak semudah itu Rey kau bisa mengambilnya dariku.“
Please ‘Ric, kumohon! Jangan permalukan dirimu sendiri.“
“Kau takut Rey? Bagaimana kalau ini menyebar di sekolahmu? Dan bagaimana pula jika rekaman ini seandainya jatuh ke tangan pacar tersayangmu, MITHA?!!“ ujar Eric dengan mata melotot sambil menggoyang – goyangkan handphone tersebut di tangannya. Ia merasa berada di atas angin.
“Kumohon, jangan lakukan hal yang memalukan seperti itu. Ingat! Bukan hanya aku saja yang malu, tapi juga kau!!“
I don’t care, “ ucap Eric enteng  tanpa rasa bersalah.
“Oke . . . oke, Sekarang mau kamu apa?“ tanya Rey putus asa.
“Mudah saja Rey. Putuskan Mitha dan kita tetap seperti yang dulu.“
“Tapi?“
“Sudahlah Rey, kau tak akan bisa menjalaninya dengan Mitha,“ ujar Eric santai. Rey terdiam cukup lama. Ia berpikir keras tindakan apa yang seharusnya diambilnya. Satu – satunya jalan adalah dengan mengambil paksa handphone tersebut. Disaat Eric lengah, Rey dengan sigap menyerobot handphone yang berada di tangan Eric dan memegangnya erat. Gerak refleks Eric tak bisa menyelamatkan handphonenya yang dirampas secara paksa oleh Rey.
“Tak akan kubiarkan kau melakukan perbuatan bodoh seperti ini.“
“SIAL kau Rey!!“ maki Eric geram. Dengan cepat Rey menghapus rekaman video tersebut dan melemparkannya handphone tersebut dengan keras ke dinding hingga hancur berkeping – keping. Eric melihat semua itu dengan pasrah. Hancurlah kartu as yang selama ini dipegangnya.
“Kau tidak bisa membuangku begitu saja Rey!!“ teriak Eric keras.
“Kau juga tidak bisa menekanku dengan cara – cara licik seperti ini, PERGI!! PERGI KAU DARI SINI!!!!“ usir Rey.
Eric bergegas meninggalkan Rey. Namun itu bukan berarti ia menyerah. Masih banyak segudang rencana yang belum ia lancarkan untuk dapat menghancurkan Rey secepatnya.
Diskotik Grand Millenium terlihat gegap gempita malam itu. Lampu – lampunya yang bewarna – warni menyorot tiada henti mengikuti hentakan lagu disko yang dimainkan oleh Disk jockey berpengalaman. Orang – orang dari berbagai kalangan berkumpul menjadi satu, bergoyang dengan ceria mengikuti hentakan lagu. Sementara di sudut lain, tampak om – om senang sedang memberi saweran kepada wanita - wanita yang tengah asik ber – streaptease ria di depannya.
“Ayo sayang, buka lagi yang lebar! Nanti om tambah sawerannya!!!“ teriak salah seorang om senang. Di sebuah kursi yang tidak jauh dari meja bar tempat penari streaptease beraksi, Eric duduk seorang diri. Sesekali ia melihat jam yang ada di tangannya. Matanya celingukan ke sana - kemari melihat apakah seseorang yang sedang ia tunggu sudah datang atau belum.
Tampak dari kejauhan seorang pemuda berbadan kurus melambaikan tangannya ke arah Eric.
“Eric!!!“ teriaknya.
“Hey Don!!“ sahut Eric.
 Pemuda itu segera menghampiri Eric dan duduk di sebelahnya.
“Ke mana aja lo? Lama amat?“ tanya Eric.
Sorry, tadi ada orang mesen barang dagangan gue. Jadi gue ke sana dulu,“ jelas Doni.
Lo mo minum apa?“ tanya Eric.
Nggak makasih, gue cuman sebentar kok.“
“Oya, ada apa lo ngajak gue janjian ketemu di sini?“ tanya Eric lagi.
“Ada job nih untuk lo malam ini,“ jawab Doni. Eric langsung berdiri dan segera lekas ingin pergi meninggalkan tempat tersebut.
Sorry bro, gue udah nggak mau lagi ngelakuin pekerjaan kotor kayak gitu,“ tolak Eric.
“Eit . . . tunggu dulu. Lo nggak tau sih yang mesen lo siapa?“
“Maksud lo?“ tanya Eric penasaran.
“Tante Mariska! Pemilik Salon and Spa yang megah di pinggir jalan ke bandara itu lho?“ jawab Doni dengan mata berbinar. Eric terdiam sejenak. Di otaknya menari – nari gambar tumpukan uang. Cukup lama ia berpikir hingga akhirnya ia menerima tawaran tersebut.
“Oke, gue setuju. By the way tempatnya di mana?“ tanya Eric.
“Hotel Griya Indah. Sekarang aja lo ke sana. Tante Mariska udah nunggu tuh!  Nomor kamarnya 98.“
Eric mengangguk, lalu ia menengguk martini yang tinggal sedikit di dalam gelasnya.
“Makasih bro atas jobnya.“
“Nyantai aja lagi. Oke, gue cabut dulu ya. Met bersenang – senang,“ pamit Doni sambil menepuk bahu Eric. Doni telah berlalu dari hadapannya. Ia pun tidak berlama – lama di diskotik itu. Dengan kencang ia melajukan motornya menuju ke Hotel Griya Indah. Sesampainya di sana ia langsung menuju ke kamar 98 yang terletak di lantai 3. Ia mengetuk pintu dengan pelan. Dari dalam terdengar suara wanita memanggil dengan lembut menggoda.
“Masuk.“
Eric segera mendorong pintunya. Dari sana terlihatlah sosok Tante Mariska yang sensual dengan mengenakan pakaian yang serba terbuka. Eric menahan nafas. Ia menelan ludah berkali – kali. Jakunnya terlihat naik turun. Perlahan ia mendekatinya yang telah terbaring pasrah di ranjang hotel yang empuk dengan paha mulus yang terbuka lebar. Suara Tante Mariska yang menggoda seakan membuat Eric tersihir dan segera mencumbuinya dengan lembut. Dari atas hingga ke bawah. Tangan Tante Mariska pun aktif meremas – remas rambut Eric dengan penuh gairah sembari menarik kaosnya dan melepaskannya. Suasana malam yang dingin menjadi hangat dan penuh gairah. Dua orang anak manusia tengah melakukan perbuatan yang nista. Dunia serasa menjadi milik mereka berdua. Sepanjang malam kamar hotel itu dihiasi suara – suara desahan nafas yang saling memburu.

♥♥♥

Eric melepaskan pelukan Tante Mariska yang erat memeluk tubuhnya. Ia mengambil sebungkus rokok yang tergeletak di atas meja kecil di samping ranjang. Bau asap rokok yang menusuk hidung segera membangunkannya.
“Sayang, udah bangun?“ ucapnya lembut kepada Eric.
Gimana semalam Tante? Puas?“ tanya Eric.
“Puas banget. Tante nggak pernah ngerasain ini sebelumnya dengan brondong lain,“ jawabnya mengecup mesra pipi Eric.
“Tante bayar aku sekarang ya?“
“Iya sayang, bentar ya?“
Tante Mariska beranjak dari ranjang dan segera meraih tasnya yang tergetak di atas lantai. Ia mengambil dompetnya dan segera mengeluarkan lembaran uang seratus ribuan sebanyak 5 lembar.
“Segini cukup?“ tanyanya.
“Cukup,“ jawab Eric menghitung lembaran uang yang diterimanya. Tante Mariska kemudian meninggalkan Eric ke kamar mandi. Ia lupa menaruh dompetnya kembali ke dalam tas. Iseng - iseng Eric membuka dompet berwarna cokelat muda bermotif bunga - bunga tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia ketika melihat foto yang terselip di dalam sana. Tampak sekilas ia mengenal wajah cewek yang terselip di dalam dompet Tante Mariska tersebut. Namun ia masih ragu apakah ia pernah menjumpainya sebelumnya.
Tante Mariska telah selesai dari kamar mandi. Eric buru – buru meletakkan dompet tersebut ke tempatnya semula. Ia bersikap seperti biasa.
“Tante punya anak cewek?“ tanya Eric berpura – pura.
“Iya, kok kamu tau?“ jawabnya heran.
Nggak kok, nebak aja. Kalo boleh tahu siapa namanya,“ tanyanya lagi dengan rasa ingin tahu yang besar.
“Namanya Mitha, lengkapnya Paramitha.“
Deg! Jantungnya tiba – tiba berdegup sangat kencang. Nama dan wajahnya sangat familiar, “Cocok.”
“Ini Tante bawa fotonya,“ katanya membuka dompet dan memperlihatkan foto Mitha ke Eric. Eric melihat foto tersebut lebih seksama lagi.
“Tidak salah lagi,“ batinnya.
“Hush, kok sampe segitunya ngeliat. Cantik ya?“
Eric  tersenyum simpul. Pikirannya langsung tertuju kepada Rey.
“Ha . . . ha . . . Rey, ternyata dunia ini memang kecil ya?“ tawanya dalam hati.
“By the way, nama kamu siapa sih? Tante belum tau nih?“
“Eric, Tante,“ jawabnya singkat.
“Kelihatannya kamu masih anak sekolahan ya?“
Eric menggeleng, “Aku nggak sekolah lagi, Tante.”
“Oya, kenapa kamu mau ngelakuin pekerjaan kotor kayak gini?“ tanya Tante Mariska ingin tahu. Mendengar pertanyaan tersebut Eric terdiam. Dilihatnya Tante Mariska  yang ada di sebelahnya yang sebenarnya sebaya dengan Ibunya. Hanya saja tubuh Tante Mariska terlihat lebih terawat. Eric menatapnya dengan tajam. Terselinap sedikit penyesalan di dalam hatinya karena telah kembali melakukan pekerjaan yang selama ini mencoba untuk ditinggalkannya.
“Hanya sekedar cari hiburan sekaligus uang Tante,“ jawab Eric sekenanya.
“Gimana dengan orang tua kamu? Apakah mereka tau kamu kerja kayak gini?“ tanyanya lagi.
“Maaf Tante, sepertinya aku harus pulang sekarang,“ ucap Eric mengalihkan pembicaraan. Ia mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai dan segera memakainya satu per satu.
“Oke, tapi jika tante ingin nemuin kamu lagi bisa lewat Doni ‘kan?“
“Maaf Tante, kayaknya ini pertemuan yang pertama dan terakhir buat kita. Aku nggak mau lagi berhubungan dengan Tante,“ tolak Eric.
Lho kenapa? Apa feenya kurang gede. Kalo kamu mau, Tante bisa tambahin. Ayo berapa lagi yang kamu mau,“ ucapnya seraya membuka kembali tasnya dan meraih dompet yang ada di dalamnya.
Nggak Tante, makasih.“
Eric bergegas keluar dari kamar tersebut. Tante Mariska mengejarnya.
“Eric!! Tunggu dulu dong sayang. Kenapa sih kamu nggak mau diajak untuk ketemuan lagi? Tante pengen denger alasannya sebelum kamu pergi tinggalkan Tante!”
Nggak ada apa – apa Tante. Cuma . . . aku nggak bisa aja untuk ketemuan lagi sama Tante,” jawab Eric dengan terburu – buru.
Nggak bisanya karena apa?”
“Tante nih keras kepala juga ya!!” ujarnya Eric emosi. Tanpa banyak kata – kata lagi, Eric langsung mempercepat langkahnya meninggalkan Tante Mariska. Sementara itu Tante mariska mengikutinya dari belakang dengan mulut yang terus – menerus mengoceh. Eric tak menghiraukan itu semua. Ia terus melangkah hingga sampai ke lobi hotel.
“ERIC . . . !!!! teriak Tante Mariska.
Semua mata menghujam ke arahnya dengan tatapan curiga. Komentar – komentar sinis terdengar sayup – sayup berseliweran di lubang telinganya. Apakah pantas seorang wanita berumur tiga puluhan tahun ke atas mengejar anak ABG berusia delapan belas tahun sampai ke lobi hotel?.
 Tante Mariska menyerah. Ia kembali ke kamarnya dengan rasa kecewa.
“Ah Eric, sayang sekali. Padahal aku mulai menyukai kamu,“ desahnya sambil memandangi Eric yang berlalu dari balik kaca jendela hotel yang sedikit buram oleh embun pagi.


♥♥♥

Suara mobil terdengar berhenti di pelataran rumah. Mitha buru – buru membuka pintu.
“Dari mana aja Ma?“ tanya Mitha sinis saat melihat Ibunya pulang pagi.
“Eh sayang, udah bangun? Mama kira kamu belum . . . ,“
Udah Ma!! Nggak perlu basa – basi. Ke mana aja Mama semalam sampe lupa  pulang!!“ tanya Mitha lagi  dengan nada suara yang keras.
“Mitha sayang, semalam ada klien Mama yang baru datang dari Surabaya. Dia ngajak Mama ke vilanya yang ada di bukit Girimaya. Biasalah, dia hanya sekedar pamer. Mama mau pulang, tapi udah kemaleman. Jadi, ya . . . Mama nginep aja,“ jelas Ibunya.
Mitha mengernyitkan dahi. Alasan yang dilontarkan oleh Ibunya benar – benar tidak masuk di akal. Bagaimana mungkin Ibunya memutuskan untuk menginap di vila tersebut padahal sebenarnya jarak antara bukit Girimaya dengan rumahnya itu tidak terlalu jauh. Hanya sekitar dua puluh menit perjalanan. Apalagi dengan memakai mobil. Seharusnya bisa lebih cepat.
“Itu bukan alasan Ma. Klien Mama itu cowok ‘kan?!“ tanya Mitha dengan mata melotot.
“ Mitha!!!“
Praakkkkk!!! tamparan keras mendarat di pipi mulusnya. Ibunya terlihat emosi sekali.
Ngomong apa kamu!! Mama begini juga demi masa depan kamu. Mama banting tulang cari uang hanya buat kamu Mitha!! Seenaknya kamu bisa ngomong kayak gitu,“ teriak Ibunya penuh amarah.
“Keterlaluan!! Mama keterlaluan!!“ bentak Mitha.
Ia segera berlari menuju kamarnya dengan terisak. Ibunya mengejarnya sampai ke lantai atas. Namun terlambat, Mitha sudah mengunci pintu kamarnya rapat – rapat.
“Mitha buka pintunya!!“ teriak Ibunya di depan pintu sambil menggedor – gedornya dengan keras. Mitha tak menjawab. Ia larut dalam kesedihan. Baru kali ini Ibunya bersikap kasar seperti itu kepadanya. Ia merasa telah kehilangan Ibunya yang dulu.
Mitha meraih handphonenya yang tergeletak di atas meja belajarnya.
“Halo Rey,“ sapanya dengan suara yang serak dan parau. Rey sedikit terkejut mendengarnya.
“Iya ‘Tha, ada apa?“ tanya Rey.
“Rey, siang ini aku mau ke kos kamu. Kamu ada ‘kan siang ini?“
“Iya ada. Kamu abis nangis ya ‘Tha?“
Mitha tak menjawab. Lalu ia mengakhiri pembicaraannya.
“Tunggu aku ya Rey, kamu nggak usah jemput. Biar aku aja yang ke situ. Daaaggg.“
Tuuuuttttt . . .  telepon terputus. Sejuta tanya menyelimuti benak Rey. Ada apa dengan Mitha? Semoga bukan hal – hal yang serius terjadi menimpa dirinya.
Mitha terus mengurung dirinya hingga tengah hari. Ia tetap tidak mau keluar kamar meskipun Ibunya telah meminta maaf berulang kali. Dengan perlahan ia membuka pintu kamarnya. Ia berjalan mengendap – ngendap menuruni anak tangga berharap Ibunya tidak tahu bahwa ia ingin keluar rumah.
Ketika melintas di depan kamar Ibunya ia mendengar sayup – sayup perbincangan Ibunya dengan seseorang. Entah siapa yang diteleponnya. Mitha mendekatkan telinganya ke daun pintu kamar tersebut. Suara – suara tersebut terdengar sedikit lebih jelas.
Mitha mengernyitkan dahinya dengan raut wajah yang penasaran ketika kata ‘sayang’ meluncur keluar dari bibir Ibunya dengan nada genit menggoda, “Iya sayang. Aku tunggu lho . . .”  begitu katanya. “Tentu bukan Papa yang sedang ditelepon oleh Mama,” pikirnya.
Mitha tak memedulikan Ibunya. Dengan langkah yang dipercepat ia menuju ke pintu depan dan dalam sekejap mata ia telah berhasil berada di luar melewati beberapa blok gang sempit dan akhirnya sampai di pinggir jalan. Ia menaiki angkot dan segera meluncur ke kos Rey.
“Rey,“ panggilnya pelan sambil mengetuk pintu. Perlahan Rey membukanya. Begitu melihat Rey ia langsung memeluk tubuhnya erat - erat.
“Ada apa sih ‘Tha?“ tanya Rey lembut sembari mengusap - ngusap rambut Mitha yang panjang tergerai. Mitha meneteskan air mata.
“Mama Rey. Tadi pagi aku bertengkar hebat dengannya,“ jawabnya terisak. Rey melepaskan pelukannya dan membimbingnya masuk ke dalam.
“Masalah apa?“ Tanya Rey lagi. Mitha berusaha untuk menahan tangis. Namun air matanya tetap saja tak terbendung.
“Mama pulang pagi Rey. Ini tidak seperti biasanya. Aku yakin, ada sesuatu hal yang disembunyikan oleh Mama. Dia biasa pulang malem, mungkin aku masih bisa maklum. Dia nggak pulang untuk makan siang sama – sama atau tidak mengucapkan kata selamat tidur kepadaku, aku juga masih bisa maklum. Tapi ini? Mama benar – benar sudah keterlaluan,“ jelasnya panjang lebar sambil terus menyeka air mata yang meleleh jatuh di pipinya.
“Kamu nggak boleh berprasangka buruk kayak gitu ‘Tha. Mungkin Mamamu punya alasan yang kuat kenapa dia pulang pagi.“
“Tapi alasannya nggak masuk akal Rey. Terlalu mengada – ngada!“ ucapnya tiba – tiba dengan nada suara yang tinggi.
“Aku merasa telah kehilangan Mama akhir – akhir ini, Rey. Bahkan tadi dia menamparku. Padahal selama ini Mama tidak pernah bersikap seperti itu sebelumnya walaupun kami selalu berdebat serius. Tadi aja dia menyebut – nyebut kata ‘sayang’ dalam telponnya. Entah siapa yang ditelponnya.“
Rey menyulutkan api di ujung sebatang rokok kesukaannya. Seketika asapnya mengepul di udara.
“Tha, lebih baik kamu berpikir positif deh. Jangan dulu berprasangka yang buruk sebelum ada buktinya. Belum tentu juga ‘kan Mamamu punya affair dengan laki - laki lain. Siapa tau aja yang ditelpon Mama kamu itu Papa kamu.” Mitha menggeleng, “Nggak mungkin Papa.” Rey tersenyum.
“Ya udah, lebih baik kamu pulang dan segera minta maaf. Bukankah Mama kamu lagi butuh support dari kamu dalam menghadapi perceraian. Lagian baru sekali ini ‘kan Mama kamu kayak gini?“ ucap Rey menenangkan hatinya. Ia menatap kedua mata Rey dengan lekat dan terdiam sejenak mencoba mencerna perkataan Rey.
“Iya Rey. Kamu benar. Mungkin saja yang ditelepon oleh Mama memang benar Papa. Nanti aku akan menanyakannya dan meminta maaf kepada Mama,“ katanya memeluk kembali tubuh Rey dengan erat.
“Nah, begitu dong. Sekarang jangan sedih lagi ya?“
Mitha tersenyum sekaligus terharu. Rey benar – benar mengerti perasaannya. Sementara itu, dari luar tampak terlihat sepasang mata tengah mengintai kos Rey dari kejauhan. Sepasang mata tersebut tajam bagaikan mata elang. Sesekali mata itu memicing sadis seakan ingin menerkam mangsanya. Mata tersebut terus mengintai hingga hari beranjak malam.
9 p.m.
Udara malam yang dingin berhembus secara perlahan. Dinginnya menusuk hingga ke tulang. Di ruangan tengah, Mitha tampak asik mengobrol dengan Rey ditemani dengan secangkir teh hangat. Sementara dari luar tampak sepasang mata sadis dan bringas masih terus mengawasi dari kejauhan.
“Aku pulang dulu ya Rey. Udah jam 9 nih,“ ucap Mitha setelah melihat jam tangannya.
“Biar kuantar ya?“ tawar Rey. Kemudian ia mengambil kunci motornya dan segera menghidupkan motornya yang terpakir di halaman. Namun tiba – tiba, entah kenapa motor tersebut tidak mau menyala.
“Kenapa Rey?“ tanya Mitha.
Nggak tau nih, tiba – tiba aja nggak mau nyala,“ jawab Rey sambil terus mengengkol pedal motornya.
“Padahal sebelumnya nggak gini lho ‘Tha. Mungkin karena emang umurnya dah tua, trus aku jarang lagi perawatan ke bengkel,“ celoteh Rey sembari memeriksa bagian mesin motornya.
“Ya udah, nggak usah dipaksain. Aku pulang naik taksi aja.“
“Tapi taksi jarang lho lewat daerah sini.“
Nggak apa – apa kok. Udah ya aku pulang dulu. Oya, jangan lupa besok tu motor dibawa ke bengkel?“ ujar Mitha menepuk - nepuk pundak Rey. Rey berdiri dan mengecup keningnya dengan hangat.
“Kamu hati – hati ya. Sorry banget nggak bisa nganterin kamu.“
Thank ya Rey atas semuanya.“
Mitha melangkah meninggalkan pelataran kos Rey dan mulai berjalan menyusuri gang – gang sempit dengan santai. Jalanan di gang tersebut tampak telah sepi walaupun masih ada satu sampai dua orang warga yang duduk – duduk di beranda rumah. Mitha merapatkan kedua tangannya di dada untuk mengusir hawa dingin yang menyergap ke seluruh tubuhnya. Matanya celingukan ke sana kemari melihat deretan – deretan rumah – rumah warga yang berjajar rapi.
Setelah melewati jalanan gang yang lurus kemudian ia berbelok ke kiri menuju jalanan gang yang kanan dan kirinya dihiasi oleh semak belukar yang tinggi – tinggi dengan dominan rumput ilalang. Tidak terlihat lagi deretan rumah – rumah warga. Tiba – tiba rasa takut menyergapnya. Dari belakangnya terdengar suara langkah kaki seseorang yang mencurigakan. Ia menoleh ke belakang. Sekelebat bayangan hitam menghindar dari pandangan dan menyusup ke balik semak – semak ilalang yang tinggi.
“Siapa!!!“ teriak Mitha mendekati semak – semak tersebut secara perlahan. Wajahnya seketika berubah menjadi pucat. Tanpa diduga, sesosok bayangan hitam tersebut keluar dari semak – semak dan langsung membekap mulutnya dengan kuat. Ia mencoba berontak. Namun apalah daya, tenaganya tidak cukup kuat untuk menahan laki – laki yang berpakaian serba hitam – hitam tersebut. Ia pun tidak dapat berteriak karena mulutnya di bekap dengan rapat sekali.
Perlahan – lahan ia pun jatuh lemas tak sadarkan diri. Ternyata obat bius yang dibekapkan ke mulut dan hidungnya itu telah bereaksi. Laki – laki itu dengan sigap mengangkat tubuhnya yang lemas tak berdaya itu ke sebuah rumah kosong yang terletak tidak jauh dari semak – semak tersebut. Laki – laki itu membaringkan tubuhnya di lantai. Dengan tergesa – gesa ia melucuti satu per satu pakaiannya sendiri. Setelah itu berganti melucuti satu per satu pakaian Mitha hingga Mitha bertelanjang bulat.
“Maafkan aku sayang. Aku tidak bisa melawan rasa keingintahuanku terhadapmu. Sejak pertemuan itu, aku selalu terbayang kepadamu. Lekuk – lekuk tubuh indahmu selalu berhasil membuat jiwa ragaku bergelora. Lagipula, salahkan dia!!! Dia yang memaksaku untuk berbuat seperti ini kepadamu!!“
Secara perlahan ia mulai menindih tubuh Mitha dan memperkosanya dengan bringas. Ia menyentakkan tubuhnya berkali – kali hingga lendir – lendir kenikmatan itu tersembur keluar dengan derasnya. Ia tak memedulikan keringat yang membasahi tubuhnya. Tidak pula memedulikan dosa besar yang telah diperbuatnya. Yang ia pedulikan hanyalah dapat  menggauli tubuh Mitha sepuas – puasnya.
Kenikmatannya terganggu, tiba – tiba dari jalanan terdengar suara motor melewati gang. Ia menghentikan perbuatannya. Ia mengintip dari balik dinding rumah yang berlubang melihat motor siapakah yang berhenti di jalanan tersebut. Matanya memicing, memokuskan penglihatannya siapakah laki – laki yang mengendarai motor tersebut.
Seketika bibirnya tersenyum mengejek ketika tahu siapa laki – laki tersebut. Ia lalu menoleh ke arah Mitha yang terbaring lemah tak berdaya di lantai dengan keadaan yang acak – acakan. Ia berdiri di sebelahnya dan bergumam pelan.
“Dewa penyelamatmu tidak tahu kau ada di sini. Cck . . . cck . . . Sayang sekali. “
Ia tidak berlama – lama memandangi Mitha. Dengan cekatan ia mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan dengan cepat dikenakannya. Ia kembali mengintip dari lubang dinding rumah tersebut apakah laki – laki pengendara motor tersebut masih ada di sana atau tidak. Setelah ia yakin pengendara motor itu telah pergi, ia pun bergegas keluar dari rumah kosong tersebut dan meninggalkan Mitha begitu saja.

♥♥♥

10 a.m
“Tante harap kamu mau lagi ketemuan kalo Tante butuh,“ ucap Tante Mariska genit. Dika menyeringai dengan jantan.
“Oke Tante. Selama Tante bayar aku dengan bayaran yang memuaskan, aku akan setia untuk nemenin Tante,“ jawab Dika seraya beranjak dari tempat tidur. Ia mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai dan segera mengenakannya satu persatu. Tante Mariska melihatnya dengan terpesona. “Dika yang hitam manis, sungguh menggoda,” pikirnya nakal.
“Aku pulang dulu ya Tante?“
“Iya sayang, hati – hati di jalan.“
Dika segera keluar dari kamar dan berjalan menuju ke pintu depan. Bersamaan dengan itu, Mitha yang pulang dalam keadaan acak – acakan telah berdiri di depan pintu sambil menangis. Ia ragu untuk masuk ke dalam rumah. Ragu dan takut kalau sampai ia menceritakan kejadian yang sebenarnya ke Ibunya dan Ibunya akan marah besar. Puncaknya, mungkin ia akan diusir dari rumah dan tidak dianggap lagi sebagai anak.
Tapi itu adalah sebuah resiko yang harus ia terima. Syukur – syukur kalau Ibunya mengerti keadaan dirinya. Kalau tidak? Ia menarik napas dalam – dalam lalu menyeka air mata yang meleleh di pipinya hingga tidak tampak lagi sisa – sisanya. Hanya mata yang bengkak dan sembab yang tertinggal.
Keberaniannya telah berkumpul. Ia memberanikan diri untuk membuka pintu tersebut. Tapi alangkah terkejutnya ia ketika melihat ada seorang cowok berdiri di hadapannya seolah – olah menyambut kedatangannya.
“Dika?! Ngapain kamu di sini,“ tanya Mitha heran. Melihat Mitha berdiri di hadapannya, Dika tidak dapat berkata apa – apa. Ia tidak menyangka bahwa ini adalah rumah Mitha dan wanita yang habis ia layani semalam adalah Ibunya.
“Mitha?!“ katanya terkejut.
Secepat kilat ia buru – buru pergi. Ia tidak ingin ditanyai yang macam – macam oleh Mitha. Sementara itu dengan perasaan emosi dan amarah yang meluap - luap, Mitha segera masuk menuju ke kamar Ibunya. Runtuhlah sudah ketakutan dan keraguan yang tadi sempat mendera dirinya. Yakinlah ia pada praduganya terhadap Ibunya kemarin malam. Ternyata dugaan itu benar adanya. “Inilah buktinya Rey, sudah kudapatkan buktinya.” Saat itu juga sejenak hilang dari benaknya peristiwa perkosaan yang dialaminya tadi malam. Tadi ia merasa dirinya hina, bahkan lebih hina dari seorang budak. Tapi kenyataannya ada yang lebih hina dari dirinya, bahkan lebih bejat dengan merendahkan harkat dan martabat dirinya sendiri. Siapa lagi orang itu kalau bukan Ibunya sendiri.
Ngapain ada cowok di sini Ma? Ngapain!!!“ bentaknya dengan berurai air mata. Dengan pakaian tidur yang belum rapi, Ibunya menghampiri Mitha yang berdiri di depan pintu kamar.
“Dari mana aja kamu?“ tanya Ibunya sinis.
“Mama nggak usah ngalihin pembicaraan!” kata Mitha tak kalah sinis sambil mengamati penampilan Ibunya yang seperti tergesa – gesa memakai pakaian tidur.
“Mama tanya, dari mana aja kamu semalam sampe nggak pulang?!“ tanya Ibunya lagi. Namun, Mitha tetap tak peduli dengan pertanyaan Ibunya. Ia malah terus melancarkan kata - kata yang semakin membuat Ibunya terpojok.
“Ternyata bener dugaanku selama ini, Mama tidur ‘kan dengan cowok itu?!” ucap Mitha dengan mata melotot. Ibunya terdiam. Kemudian terduduk dengan berurai air mata.
“Kamu tau ‘kan Mit.  Mama kesepian,“ ucapnya terisak. Mitha tampak tidak terima dengan alasan Ibunya.
“Itu bukan alasan Ma. Mama tu nggak nyadar, Mama belum bercerai dengan Papa. Mama masih istrinya Papa!” ucap Mitha dengan nada suara yang tinggi. Mendengarkan perkataan tersebut tiba – tiba Ibunya menjadi emosi.
“Apa Papamu peduli dengan Mama? Saat dia selingkuh dengan wanita lain dan ingin bercerai, apa dia peduli dengan perasaan Mama? Nggak ‘kan?!!“
“Tapi bukan dengan kayak gini ’kan Ma? Mama udah ngancurin masa depan Mama sendiri. Aku nggak habis pikir Mama bisa ngelakuin hal yang rendah kayak gini. Aku kecewa . . . aku kecewa Ma! Lebih hebatnya lagi, Mama udah tidur dengan temen sekolahku sendiri. Hebat . . . hebat, terusin aja ngelakuin hal kayak gini!!“ teriaknya. Ia lalu bergegas meninggalkan kamar Ibunya dan kembali mengunci diri di kamar. Air mata tak henti – hentinya mengalir dari pelupuk matanya. Dosa apakah yang telah diperbuatnya hingga kejadian yang memilukan terus saja menghampiri dirinya.
Perkosaan dan kelakuan bejat Ibunya. Itulah dua kemalangan nasib yang menimpa dirinya. Dunia seakan runtuh. Hatinyapun hancur berkeping – keping. Perasaan benci, pilu, kesal dan amarah menyatu menjadi satu, campur aduk tak karuan membentuk bilah – bilah sembilu yang membuat batinnya tersiksa, sakit dan perih.
Ingin rasanya ia menjerit, memaki dan berteriak untuk menumpahkan segala kesedihannya. Ingin rasanya ia memarahi Tuhan dan bertanya, “Apa salahku Tuhan?”. Ingin rasanya ia mengakhiri hidupnya dan pergi untuk selama – lamanya dari dunia yang fana ini. Namun, ia masih mencoba berpikir positif. Ia berusaha mengendalikan diri sepenuhnya jangan sampai kendali atas dirinya tersebut beralih ke tangan iblis yang justru akan menjerumuskannya.
 “Rey,“ sapa Mitha.
“Iya, ‘Tha?“ jawab Rey dari ujung telepon.
“Kamu bisa ke rumah nggak pulang sekolah?“ tanyanya dengan suara yang serak dan parau.
“Bisa, emangnya kenapa ‘Tha? Oya kenapa kamu nggak masuk hari ini? Ada masalah apa lagi?“ tanya Rey khawatir.
“Pokoknya kamu dateng ke rumahku. Aku nggak tau lagi harus berbicara dengan siapa,“ ucapnya terisak. Rey semakin khawatir dengan keadaannya.
“Oke, sekarang tenangin diri kamu dan bilang sebenarnya ada apa.“
Mitha terdiam. Air mata terus meleleh di pipinya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Rey bila mendengarkan pengakuannya.
“A . . . a . . . aku diperkosa Rey.“
Jelegaarrr!!!! Serasa petir menyambar di siang hari yang terik.
“APA!!? Siapa yang ngelakuinnya‘Tha?!!!“ ucap Rey terkejut.
“Aku nggak tau Rey. “
“Ya udah, aku ke rumah kamu sekarang. Aku harap kamu tenang ya. Jangan ngelakuin hal – hal yang nggak aku inginkan, Oke? Lima belas menit lagi aku sampai ke rumah kamu.”
Mitha membenamkan diri dalam kesedihan. Ia mencoba untuk bersikap tenang. Jangan sampai setan merasuki dirinya dan menggodanya untuk melakukan perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri.


♥♥♥


Rey telah tiba di rumah Mitha. Ia disambut dengan sikap yang tidak ramah dari ibunya Mitha.
“Mau cari siapa?“
“Saya mau ketemu Mitha, Tante,“ jawab Rey.
“Maaf, Mitha nggak ada di rumah.“
“Tapi dia barusan telepon. Ini masalah serius Tante,“ desak Rey.
“Iya, tapi dia tidak ada di rumah sekarang!!“ ucapnya dengan nada suara yang tinggi. Rey tahu Ibunya Mitha berbohong. Ia ingin menerobos masuk, tapi ia tidak bisa melakukannya karena tampaknya Ibunya Mitha tidak menyukai akan kehadirannya. Tiba – tiba dari belakang terdengar suara Mitha.
“Masuk Rey?“
Mendengar suara tersebut Rey langsung menyelonong masuk.
“Kamu nggak apa – apa ‘kan ‘Tha?“ tanya Rey khawatir.
Nggak kok Rey. Mending kita ngobrolnya di kamar aja,“ ajaknya. Ibunya langsung bereaksi keras.
“Apa – apaan kamu ini Mit. Ngajak lelaki masuk kamar seenaknya!!“
“Mama nggak berhak ngomong kayak gitu ke aku. Liat sendiri kelakuan Mama. Mama juga seenaknya ‘kan bawa – bawa lelaki masuk kamar. Tapi otakku nggak ngeres kayak Mama. Aku masih punya harga diri. Rey bukan cowok brengsek,“ ucap Mitha sambil menyeret Rey menuju ke kamarnya. Rey memandang Ibunya Mitha dengan penuh Tanya.
Sesampai di kamar, Mitha tak dapat lagi membendung air matanya. Ia langsung memeluk Rey.
“Aku telah hancur, hancur Rey,“ katanya terisak.
“Benar – benar biadab orang yang telah melakukan ini terhadapmu,“ geram Rey.
“Aku rasa dia telah membuntutiku sejak aku beranjak pergi meninggalkan kosmu,“ ucap Mitha menyeka air matanya.
“Kau ingat wajahnya ‘Tha?“ tanya Rey ingin tahu. Mitha menggeleng.
“Aku tidak tau Rey. Yang aku tau, lelaki itu memakai penutup wajah. Waktu itu aku tidak sadar, mungkin aku dibius.“
“BIADAB!!! Apa kamu merasa punya musuh sebelumnya?“
Nggak ada Rey.“
Rey kembali memeluk Mitha dengan  erat. Ia merasa sangat bersalah sekali.
“Maafkan aku ‘Tha. Coba waktu itu aku mengantarkanmu sampai ke ujung gang, mungkin semua ini tidak akan terjadi,“ sesal Rey.
“Ini bukan salahmu Rey. Ini takdir yang harus aku terima.“
Rey beranjak menuju jendela. Entah mengapa pikirannya tertuju kepada Eric. Ia yakin Eric yang melakukannya. Ia ingat tatapan mata itu. Ya . . ., tatapan mata Eric kepada Mitha yang penuh nafsu saat pertemuan di Kafe waktu itu serta telpon konyol yang ia terima dari Eric, yang isinya ia ingin sekali menelusuri tubuh Mitha yag putih mulus.
“Tepat . . . tepat sekali! Tidak meleset!” pikirnya.
Namun Rey masih menyimpan praduganya tersebut. Tak ingin buru – buru memberi tahu Mitha. Toh, Mitha tidak akan percaya kalau Eric yang melakukannya. Apalagi kejadian di Kafe waktu itu membuat Rey menjadi tersangka, sedangkan Eric korbannya. Padahal waktu itu Rey justru membela kebenaran. Hanya saja Mitha yang tak menyadarinya. Mitha menganggap Rey telah bersalah karena memukul Eric dan terlalu overprotected kepada dirinya.
Biarlah dulu Mitha beranggapan, hanya orang yang tidak waraslah yang telah memmperkosanya, bukan Eric. Lagipula Rey belum mendapatkan bukti yang nyata yang bisa ia perlihatkan kepada Mitha, “Baru bukti yang klise.”
“Apa yang harus aku lakukan sekarang Rey?“ tanya Mitha lirih.
“Kita lapor Polisi.“
Nggak Rey. Aku nggak mau seluruh dunia tau kalo aku diperkosa. Terlebih lagi Mama dan teman – teman di sekolah,“ tolak Mitha.
Tiba – tiba pintu terbuka dengan lebar. Sedari lama Ibuya Mitha telah berdiri di balik pintu dan mendengarkan sayup – sayup perbincangan mereka berdua.
“Apa yang Mama harus tidak tahu dari kamu, Mit?” tanya Ibunya dingin. Mitha melemparkan pandangan ke arah Rey dengan wajah yang gugup. Rey memberikan gerakan isyarat agar ia mengaku saja. Tapi ia segera tertunduk. Pengakuannya tersebut tertahan di dalam batang tenggorokannya.
“Perkosaan??”
Mitha memandang wajah Ibunya seakan membenarkan pernyataannya. Praaakkk!!!! Segera saja tamparan keras mendarat di pipinya. Rey segera membela.
“Tante nggak seharusnya bersikap seperti itu!!”
“Diam!!! Ini semua gara – gara kamu!! Ke mana tanggungjawabmu sebagai pacarnya!! Tega kau membiarkan Mitha berjalan pulang sendirian di malam buta yang penuh dengan bahaya. Ditaruh di mana otakmu waktu itu!!!”
Rey mencoba menjelaskan, tapi selalu tak berhasil selesai.
“Aku curiga, jangan – jangan kau telah merencakan ini sebelumnya. Pemerkosa itu kamu ‘kan!!!”
Mitha berdiri lalu berteriak.
Stop Ma!!! Mama nggak berhak menuduh Rey berbuat hal yang tidak pernah ia lakukan!!”
“Kau masih mengelak? Buka matamu lebar – lebar Mitha!!”
Mitha memandang Rey. Wajah Rey terlihat shock sekali menerima tuduhan tersebut.
“Kau percaya padaku ‘kan ‘Tha?”
Mitha mulai meragukan ucapannya.
“Kau lihat sendiri ‘kan waktu itu? Motorku tidak bisa dinyalakan?”
Ibunya segera menyela.
“Itu hanya trik murahan.”
Rey masih berusaha menghancurkan dinding keraguan di hati Mitha dengan penjelasannya.
“Kamu tahu? Aku menyusulmu saat motorku berhasil dihidupkan. Aku mencarimu sampai ke ujung gang, tapi kau sudah tidak terlihat lagi. Kupikir kau sudah menemukan taksi waktu itu.”
Sedikit demi sedikit keraguan di hati Mitha pun retak dan akhirnya runtuh. “Rey tidak mungkin melakukannya. Kalaupun ia mau melakukannya, kenapa tidak dari dulu saat aku menginap di kosnya,” pikirnya.
“Aku percaya padamu, Rey.”
Rey menarik napas dalam – dalam, lega Mitha telah percaya kepadanya. Tapi tidak dengan Ibunya.
“Kau lebih percaya kepada dia ketimbang dengan Mama, Mit?”
“Kepercayaanku hilang semenjak Mama mengarang – ngarang cerita tentang klien Mama, punya vila di bukit Girimaya, karena kemaleman terus Mama nginep di sana. Omong kosong!!!. Pada kenyataannya, Mama tidur dengan laki – laki muda sesuka hati Mama.”
Rey mengerti sekarang apa yang diucapkan Mitha ketika menyeretnya naik ke kamar tadi.
“Aku telah menemukan buktinya, Rey. Pagi ini. Ya . . . pagi ini aku memergoki Dika, temen sekelasku sendiri keluar dari rumah ini. Sementara Mama berpenampilan konyol dengan pakaian tidur yang belum rapi.”
Ibunya merasa malu sekali karena telah ditelanjangi habis – habisan oleh Mitha di depan Rey. Rey memandang Ibunya Mitha dengan tatapan merendahkan.
“Kenapa!!”
“Aku kasihan kepada Tante. Ternyata Ibuku masih lebih baik walaupun ia gila dan harus tinggal di rumah sakit jiwa.”
Ibunya Mitha mendengus kesal. Kesal dan semakin bertambah kesal karena ia dibanding – bandingkan dengan orang gila. “Apa hubungannya?” batinnya.
“Persetan dengan Ibumu!!!”
Rey melotot ingin membalas umpatan tersebut. Tapi ia tidak jadi mengumpat karena masih menghargai ia sebagai Ibunya Mitha.
“Lebih baik sekarang kita jalani hidup kita masing – masing. Urusin aja hidup kamu sendiri. Mama nggak mau ambil pusing lagi.”
Braakkk!!! Pintu dibanting dengan keras. Ibunya beranjak pergi meninggalkan mereka berdua.
“Itu memang lebih baik.”
Mitha beranjak dari tempat duduknya dan membuka jendela kamarnya lebar - lebar. Ia mencoba menghirup udara yang bertiup semilir itu dalam – dalam untuk melegakan perasaan hatinya.
Awan di luar mendung. Tampak awan hitam meggelayut tipis melayang – layang terbawa angin semilir. Kebahagiaannya seakan menjauh dari kehidupannya, tergusur oleh mimpi buruk dan takdir dari sang pencipta yang kita sebagai manusia tidak mampu untuk menolaknya.
Chaca berjalan hilir mudik di depan teras rumah Eric. Wajahnya menunjukkan gurat – gurat keraguan. Ia ragu untuk mengetok pintu dan memanggil nama Eric. Ia ragu untuk bertemu dan meminta maaf kepadanya atas pertengkaran kecil yang terjadi beberapa hari yang lalu.
Namun sebenarnya, hati kecilnya bertanya – tanya, “Untuk apa kau yang meminta maaf, toh eric yang memulai pertengkaran, ‘kan?”. Tapi Chaca mengalahkan egonya, ia mengabaikan hati nuraninya. Ia hanya ingin berniat baik, yaitu ingin mempertahankan hubungannya dengan Eric.
Susah payah ia mengikis keraguan yang ada di dalam hatinya, hingga ia memberanikan diri untuk mengetok pintu tersebut.
“Eric . . .!!!” panggilnya pelan. Satu panggilan pelan penuh irama kehati – hatian tidak mendapatkan sahutan dari Eric. Chaca lalu memanggilnya untuk yang kedua kalinya. Kali ini dengan irama penuh kepastian. Namun tetap tidak mendapatkan sahutan dari Eric. Ia mulai berpikir, “Jangan – jangan Eric nggak ada di rumah.”
Ia berbalik dan memutuskan untuk pulang saja. Tapi langkahnya tertahan ketika ia secara tiba – tiba mendengar suara teriakan seorang laki – laki dari dalam rumah. teriakan tersebut keras terdengar dengan suara yang khas, kering dan renyah.
“Eric ada di dalam.”
Chaca berpaling ke pintu dan memutar gagang pintu tersebut ke bawah. Ternyata tidak terkunci. Ia percepat langkahnya memasuki rumah dan mencari sumber suara tersebut. Ia tahu Eric ada di dalam kamarnya. Ia membuka pintunya perlahan. Pintu terbuka lebar dan ia disambut dengan hamburan – hamburan kertas foto yang tersobek – sobek tak karuan di lantai.
Chaca tertahan di ambang pintu. Ia terheran – heran, tekejut dan spontan berurai air mata karena telah mengira foto – foto yang disobek – sobekkan oleh Eric adalah foto – foto kebersamaan ia dengan dirinya. Namun, seketika air matanya berhenti mengalir. Di antara hamburan foto – foto tersebut terdapat wajah Rey. Dipungutnya potongan kertas tersebut.
“Ini . . . Rey . . .!!!”
Lalu dengan penasaran dipungutnya lagi potongan kertas yang lain. Masih juga terdapat wajah Rey. Begitupun ketika ia memungut potongan kertas berikutnya, berikutnya dan berikutnya. Bergantian potongan wajah Rey, Eric, Rey, Eric . . . dan seterusnya.
“Apa maksudnya ini?”
Ia melemparkan pandangannya ke Eric yang duduk diam membisu sambil terus menyobeki foto – foto kebersamaannya dengan Rey menjadi potongan – potongan kecil dan menghamburkannya ke udara. Chaca terus saja bertanya – tanya di dalam hati, “Apa – apaan Eric?”. Dalam kedinginan dan kekalutan hatinya, Eric berkata dengan suara pelan penuh kemisteriusan.
Maafin aku, ‘Ca.”
Chaca tersenyum lebar mengira Eric telah menyadari kesalahannya.
“Aku udah maafin kamu kok dari kemarin – kemarin.”
Eric menoleh dengan tatapan kosong. Tatapan yang menyiratkan bukan itu maksudnya.
“Sekali lagi, maafin aku.” Eric tertunduk.
“Iya, udah aku maafin.” Eric menggeleng.
“Bukan . . . bukan itu maksudnya . . . “
“He – eh.” Mitha mengernyitkan dahinya tak mengerti.
“Maksud kamu apa sih?”
Eric berdiri lalu memegang kedua pundak Chaca.
“Kita putus!”
Chaca terdiam. Perlahan air matanya mulai turun. Deras. Deras sekali.
“Apa katamu ‘Ric? Kita putus?” tanyanya tak percaya.
Eric mengangguk. Ia melepaskan tangannya di kedua pundaknya.
“Ini yang terbaik. Kita sudah tidak cocok lagi.”
“Tidak cocok? Cuma itukah masalahnya ‘Ric?”
“Ya . . . lebih baik kau tinggalkan aku!!”
“Apakah ada cewek lain?!” tanya Chaca sinis.
Eric menggeleng. Chaca menghela napas. Alasan yang dilontarkan Eric terlalu klise. Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin ia meminta putus, padahal pertengkaran yang terjadi beberapa waktu yang lalu hanyalah soal sepele, Telat.
Lagipula, apa hubungannya dengan aksinya menyobek – nyobek foto kebersamaannya dengan Rey? Bukankah Rey adalah sahabat sejatinya? Chaca menyeka air matanya mencoba untuk bersikap tenang. Meskipun di dalam hatinya tercabik – cabik oleh perkataan Eric yang benar – benar menyakitkan hatinya, tajam bagaikan pisau.
“Kau tidak bisa seenaknya melupakan momen – momen indah yang kita lakukan setiap malam ‘Ric!”
Eric melirik tajam.
Making love maksudmu?!”
“Ya . . . “
“Kau mau bilang kau hamil?!” ucap Eric dengan suara meninggi. Chaca mengangguk takut karena sebenarnya ia berbohong. Sementara Eric tertawa lebar – lebar melihatnya.
“Ingat!! Aku selalu memakai kondom!!” ucapnya kasar. Chaca kembali berurai air mata.
“Aku . . . aku sudah tidak datang bulan selama . . . ,“ Eric langsung menyela.
Alah . . . Itu akal - akalanmu agar aku tidak memutuskanmu ‘kan?”
“Tapi kau suka ‘kan ‘Ric dengan apa telah yang kita lakukan. Kalau kau tidak suka, kenapa kau memasukkan penismu!!! Bagaimanapun juga, kau harus bertanggungjawab. Aku tidak perawan lagi!!”
“Apa yang harus kupertanggungjawabkan? Toh, kau tidak hamil ‘kan?” ucap Eric santai.
“Kau kejam . . . kejam ‘Ric.”
Chaca menghambur keluar dari kamar tersebut dengan beruarai air mata. Sejuta tanya bersemayam di dalam otaknya. Rey dan kata ‘putus’ dari Eric. Apa hubungannya? Ia benar – benar tidak habis pikir. Entah masalah apa yang telah terjadi di antara mereka berdua. Tentu bukan masalah yang terjadi di kafe waktu itu. “Bukankah Eric bilang dia telah menyelesaikannya? Apakah Eric berbohong?” Entahlah. Namun yang pasti, sikap Eric berubah menjadi aneh sejak pertemuan di kafe waktu itu dan ia tidak henti – hentinya bercerita tentang Rey dan pacarnya kepadanya setiap ada kesempatan berdua.
Yang membuat hati Chaca benar – benar hancur dan sakit hati adalah Eric lepas tanggungjawab begitu saja. Memang ia tidak hamil, tapi bagaimanapun juga Eric telah merenggut kehormatannya dengan rayuan dan sejuta mimpi – mimpi manis yang terlontar dari bibirnya yang ternyata semua itu hanyalah bualan belaka hingga ia rela memberikan mahkota berharganya kepada Eric.
Sementara itu, Eric tertawa puas setelah berhasil memutuskan Chaca. Sekarang di dalam otaknya, berseliweran rencana – rencana busuk untuk menghancurkan Rey.

♥♥♥

Selindung Baru.
11 p.m.

Malam itu hujan turun dengan derasnya disertai dengan kilatan petir yang menggelegar keras. Rey melajukan motornya dengan kencang menuju ke kos. Pakaiannya terlihat basah. Sesampainya di sana ia terkejut setengah mati melihat pintu kosnya telah terbuka lebar. Dari dalam terlihatlah bayang – bayang seorang laki - laki sedang mondar – mandir di ruangan tengah. Rey tahu betul siapa laki - laki yang sedang berada di dalam kosnya tersebut. Tapi ia tidak habis pikir dengan cara apa ia bisa membuka pintu, sementara ia yakin pintu kos telah terkunci dengan rapat sebelum ia pergi. Rey melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
“Mau apa lagi kau ke sini?“ tanya Rey dingin. Eric tersenyum menyambut kedatangan Rey.
“Hai Rey, apa kabar?“
Rey berusaha untuk menahan emosi.
“Aku tanya sekali lagi, untuk apa kau ke sini?!“
Eric berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Oya, sorry aku telah lancang masuk ke kos tanpa seijinmu Rey. Karena aku punya ini,“ kata Eric seraya menunjukkan kunci duplikat di tangannya. Rey terkejut. Ia tidak menyangka kalau Eric menduplikasi kunci kosnya. Tanpa sepengetahuannya, mungkin saja Eric telah berulangkali masuk ke kosnya dengan leluasa. Hanya kali ini saja yang ketahuan.
“Apa ini bagian dari rencana konyolmu?“ tanya Rey tenang. Eric menyeringai.
“Lebih dari yang kau bayangkan Rey. Aku ingin kau tau sesuatu yang lebih hebat dari perkiraanmu.“
Petir terus menyambar - nyambar. Suaranya yang keras benar – benar menakutkan. Eric duduk dengan santai di kursi, sementara Rey berdiri membisu menanti apa yang akan diberitahukan olehnya.
“Aku tau apa yang kau lakukan. Tapi aku tidak yakin. Mudah – mudahan kau tidak melakukan hal yang serendah dan sebiadab itu.”
Eric menarik napas panjang. Lalu ia beranjak dari tempat duduknya dan mulai berbicara sambil mengitari Rey.
“Kau tau? Hidup itu indah bila kau bisa menikmatinya. Kau punya Mitha tapi tak tau cara menikmatinya!!”
“Jadi kau yang melakukannya!!?“ ucap Rey dengan mata melotot.
“Beberapa malam yang lalu aku bercinta dengan Ibunya dan kemarin malamnya aku menikmati tubuh anaknya,“ kata Eric dengan santai. Seketika amarah Rey meledak. Ia mendorong Eric dengan keras ke dinding. Kepalan tangan siap menghujam wajahnya.
“Kurang ajar!! Kau benar – benar biadab!!“
Braakkk . . .!!! Bogem mentah mendarat di wajah Eric. Ia jatuh ke lantai dengan mulut berdarah. Tapi ia masih dapat berdiri dengan terhuyung – huyung. Di atas meja tergeletak sebuah gunting. Gunting tersebut berkilat – kilat terkena cahaya lampu yang terang. Eric tersenyum senang melihatnya. Ia mengira Rey tidak melihat gunting tersebut.
Tapi ternyata perkiraan Eric salah. Rey menyadari ada gunting di atas meja tersebut. Rey melirik ke arah Eric. Ia tahu Eric akan mengambil gunting tersebut. Ketika Eric bergerak ingin mengambil gunting tersebut Rey telah lebih dulu bergerak. Gunting panjang tersebut berhasil diambil oleh Rey. Eric terperanjat, ia kalah cepat.
“Ayo Rey, bunuh aku . . . bunuh aku . . .!!!“ teriak Eric keras diiringi dengan suara petir yang menggelegar. Rey menggenggam gunting tersebut dengan kuat. Ujungnya yang lancip berkilat telah siap ia hujamkan ke tubuhnya. Namun ia tidak melakukannya. Ia masih menahan diri agar jangan sampai melakukan perbuatan yang bodoh yang justru hanya akan merugikan dirinya sendiri.
“Kau tau Rey, aku cemburu . . .  aku cemburu melihat kau bersama Mitha. Mana kebersamaan kita yang dulu!! Tadi aku telah memutuskan Chaca, sekarang giliranmu memutuskan Mitha!!“ Rey tak bergeming sedikitpun.
“Apa kau tidak cinta lagi kepadaku, Rey?” tanya Eric berhasil melemahkan genggaman gunting di tangan Rey.
“Itu bukan alasan ‘Ric. Apa kau tidak memikirkan perasaanku saat aku melihat kau bersama Chaca? Kau tidak tau ‘kan pada saat itu aku juga cemburu. Tapi aku diam saja. Aku pacaran dengan Mitha juga atas nasehatmu. Tapi kenapa kau memberi nasehat seperti itu sementara kau sendiri tidak suka!! Aku mau berubah . . . berubah ‘Ric!!! Aku tidak akan memutuskan Mitha!!!“ teriaknya. Eric tertawa mengejek.
“Tapi kau akan tetap menjadi seperti ini. Itu takdir Rey. Kau harus menerimanya.“
“Tidak!! Kau salah!!!!“ bentak Rey.
“Kau tidak mencintainya ‘kan  Rey?!! Tidak sepantasnya Mitha mendapatkan lelaki yang TIDAK NORMAL sepertimu!!!“
Rey tidak dapat lagi menahan diri setelah mendengar kata ‘tidak normal’ meluncur dari mulut Eric. Perkataan tersebut benar – benar menjatuhkan harga dirinya. Tidak dapat ditoleransi lagi. Dengan membabibuta ia menghujamkan gunting tajam itu ke perut Eric. Darah mengucur dengan derasnya.
“Ini hadiah atas perbuatanmu terhadap Mitha!!!“ ucap Rey dengan wajah yang  beringas. Eric roboh jatuh ke lantai sambil berteriak menahan sakit.
“Arrgghhh . . .!!! Kau benar – benar melakukannya,“ ucapnya dengan napas yang hanya tinggal di tenggorokan.
“Itu maumu ‘kan ‘Ric?“
“Aku memang pantas menerima ini. Tapi kau ingat satu hal. Kau akan membusuk di penjara, argghhhh . . .!!!!“
Eric tewas mengenaskan. Darah segar mengalir dan menganak sungai di lantai. Rey terduduk lemas di lantai. Tampak guratan – guratan penyesalan di wajahnya.
Ia memandangi mayat Eric dengan tatapan mata yang kosong. Pikirannya kalut. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia ketakutan. Mayat Eric perlahan mulai membeku. Gunting tersebut masih tertancap di perutnya. Sementara matanya membelalak lebar menahan sakit saat ajal akan menjemputnya. Hujan di luar telah mereda. Udara yang lembab terasa dingin berhembus semilir. Suara petir yang menggelegar berganti dengan suara lolongan anjing yang saling bersahutan menyambut kedatangan jiwa baru yang terbang melayang menuju alam keabadian.

♥♥♥

Seminggu berlalu sejak peristiwa itu. Selama itu, Mitha tidak pernah lagi menjumpai Rey baik di sekolah maupun di kosnya. Ketika ia datang ke kos, kosnya tersebut terkunci dengan rapat. Tidak tampak tanda – tanda kehidupan dari dalam sana. Siang itu, Mitha pulang dengan perasaan kecewa. Handphone Rey pun tidak pernah aktif saat dihubungi. Hanya voice mail Rey saja yang terdengar menyapa. Berulangkali ia merekam pesannya agar Rey menghubunginya. Namun, Handphonenya tersebut tidak kunjung aktif.
Lagipula, mengapa Rey menghilang begitu saja secara tiba – tiba tanpa memberitahunya. “Benar – benar aneh,” pikirnya. Perasaan di dalam hatinya berkecamuk dengan hebat. Takut terjadi apa – apa dengan Rey.
Ia melangkahkan kakinya dengan malas masuk ke dalam rumah. Di ruang keluarga dilihatnya Ibunya sedang menonton berita dengan suara televisi yang keras sembari membuka – buka majalah. Ibunya tidak menghiraukan kedatangannya. Tampaknya karena terlalu asik membaca majalah ditambah lagi dengan suara televisi yang keras membuat langkah Mitha tidak terdengar. Tapi ia tahu bahwa yang masuk ke dalam rumah adalah Mitha. Lagipula, ego mereka berdua teramat besar hingga kebisuan yang telah berlangsung selama seminggu itu belum juga mereda. Keduanya benar – benar sibuk dengan urusan masing – masing.
Mitha menuju ke dapur untuk mengambil secangkir minuman. Udara siang yang terik membuat tenggorokannya begitu cepat mengering. Dengan santai ia membawa minumannya ke ruang keluarga. Ia duduk di kursi yang agak jauh dari televisi. Sebuah kursi sofa berwarna merah yang panjang dan empuk.
Siang itu televisi menyajikan berita – berita kriminal. Ia tidak terlalu tertarik. Perlahan ia mulai memejamkan matanya. Namun ia masih terjaga. Suara televisi yang berisik seperti nyanyian pengantar tidur baginya.
Rangkaian berita akhirnya sampai pada berita terakhir. Penyiar berita memberitakan tentang kasus pembunuhan yang terjadi di kota Pangkalpinang.
“Sesosok mayat pria ditemukan mengapung dan tersangkut di akar sebuah pohon bakau yang berada di aliran sungai jembatan Selindung. Mayat yang diduga tewas karena dibunuh ini bernama Eric Setyawan berumur 18 tahun diperkirakan telah tewas sekitar satu minggu yang lalu . . . “
Mendengar berita tersebut sontak Mitha beranjak dari tempat duduknya dan segera mendekat ke arah televisi. Wajar ia tertarik karena kota Pangkalpinang sangat jarang disorot dalam berita – berita nasional.
“Mayat yang telah membengkak dan mulai membusuk tersebut sangat sulit untuk dikenali wajahnya. Beruntung KTP yang berada di dalam dompetnya belum rusak sehingga polisi dengan sangat mudah mengidentifikasinya . . . “
Ia memperhatikan foto yang terpampang di televisi tersebut. Ia terkejut. Matanya membelalak seketika.
“Itu ‘kan Eric?“ ucapnya menutup mulutnya.
“Ada apa Mit?“ tanya ibunya heran. Ia tak menjawab.
“Eric? Nggak . . . nggak mungkin. Tapi itu Eric temannya Rey. Penyiar berita juga bilang namanya Eric.”
Otaknya mulai berputar dan berpikir menerka – nerka mencoba menghubungkan raibnya Rey dengan kematian Eric walaupun sebenarnya ia masih ragu.
 “Eric tewas secara misterius, sedangkan Rey menghilang tak tahu rimbanya. Apa ini ada hubungannya?“ batinnya dalam hati. Ibunya merasa sedikit kesal karena tak digubris oleh Mitha. Akhirnya ia pun mendekat ke televisi dan melihat foto yang terpampang di televisi tersebut. Ia memperhatikannya dengan seksama. Wajah tersebut sangat familiar di ingatannya. Seketika ingatannya terlintas saat ia berada dengan seorang laki – laki muda di hotel malam itu.
“Ya Tuhan . .  ini nggak mungkin, Eric?“ katanya pelan. Mitha menoleh heran ketika mendengar Ibunya berkata seperti itu.
“Mama kenal dengan dia?“ celetuk Mitha. Ibunya menggeleng dengan salah tingkah.
“Oh . . . siapa lagi yang kenal?“
“Siapa tau aja. Mudah – mudahan aja dia bukan salah satu dari laki – laki ABG yang Mama ajak tidur,“ sindir Mitha
“Mitha!!! MULUTMU!!!“ bentak Ibunya keras
“Udahlah Ma. Aku nggak ada waktu untuk berdebat dengan Mama sekarang.“
“Mayat tersebut sekarang sedang divisum di Rumah Sakit Umum Kota Pangkalpinang untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut tentang penyebab kematiannya . . .“
Mitha menarik napas. Wajahnya terlihat syok sekali.
“Apakah ini ada hubungannya dengan Rey?“ pikirnya.
Nggak . .  aku nggak boleh berpikiran seperti itu. Nggak mungkin Rey yang melakukannya. Tapi peristiwa di kafé itu?“ pikirnya lagi.
“Tapi . . . apakah itu Eric temannya Rey? Aku yakin itu adalah Eric. Wajahnya sangat kukenal,“ pikirnya ragu.
“Lebih baik aku ke rumah sakit untuk memastikannya.“
Secepat Kilat ia beranjak keluar dan menuju Rumah Sakit Umum. Sementara itu, Ibunya masih tertegun memikirkan apakah lelaki itu adalah lelaki yang pernah bersamanya di hotel malam itu. Ia tidak yakin. Namun, ia bernama Eric dan wajahnya yang tampan tersebut sangat mudah diingat olehnya.
“Mudah – mudahan itu bukan dia,“  batinnya dalam hati. Ia berusaha untuk berpikir positif dan tidak ambil pusing.
Lima belas menit kemudian Mitha telah sampai di Rumah Sakit Umum. Ia menyusuri koridor rumah sakit dengan ditemani oleh dua orang Suster menuju kamar mayat rumah sakit. Ia ingin menuntaskan rasa keragu – raguannya dengan melihat langsung mayat tersebut. Sesampainya di dalam, perasaan horor mulai menyelingkupinya. Bulu kuduknya tiba – tiba saja berdiri melihat mayat – mayat terbaring di atas ranjang tertutupi dengan selimut berwarna putih bersih. Salah seorang Suster mengajaknya masuk ke dalam ruangan yang di dalamnya terdapat beberapa lemari loker pendingin mayat. Suster tersebut membuka salah satu loker dan menarik keluar kantong mayat berwarna hitam gelap. Perlahan ia membuka resleting kantong mayat tersebut. Mitha cepat – cepat memalingkan wajahnya. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang.
“Lihatlah Mbak. Apa ini temen anda?“
Ia menguatkan hatinya. Perlahan – lahan ia menoleh dan melihat mayat tersebut.
“E…Eric ?“ ucapnya dengan bibir bergetar. Tenggorokannya tercekat melihat kondisi mayat yang sudah membengkak dan hampir setengah busuk tersebut. Benar – benar sebuah pemandangan yang mengerikan untuknya. Tiba – tiba saja perutnya terasa mual disertai dengan pusing kepala.
“Apa benar dia teman anda,“ tanya Suster sambil menutup kembali resleting kantong mayat tersebut. Mitha tak menjawab dan segera berlari keluar dari kamar mayat dengan menutup mulutnya. Perutnya terasa sangat mual sekali. Ia menutup mulut mencoba menahan agar isi perutnya tidak keluar. Ia berhasil. Tapi kepalanya bertambah pusing saja.
Dari ujung koridor ia melihat dua orang anggota Kepolisian tengah berjalan menuju kamar mayat. Melihat kehadiran dua PoIisi tersebut ia langsung buru – buru beranjak pergi meninggalkan kamar mayat tersebut, namun langkahnya segera dicegah oleh salah seorang anggota Polisi tersebut.
“Mbak! Tunggu . . .  tunggu sebentar.”
Langkahnya tertahan.
“Apa Mbak ini keluarga dari jenazah yang ada di dalam?“ tanya Polisi tersebut.  Ia gugup harus menjawab apa, karena ia sendiri tidak yakin. Ia hanya sekali bertemu dengan Eric. Selebihnya tidak. Tapi wajah dan namanya benar – benar mirip dengan Eric yang ia temui di kafé waktu itu bersama Rey.
“Mbak ini ngaku kalo jenazah di dalam itu temannya,“ ucap salah seorang suster tiba - tiba. Ia buru – buru menjawab.
“Tapi saya tidak yakin.”
“Maksud Mbak?”
Mitha tidak menjawab pertanyaan tersebut dan malah balik bertanya.
 “Apakah tidak ada keluarganya yang datang melihat?“
“Kami memang kesulitan menghubungi keluarga korban. Yang kami tahu, korban tinggal bersama Pamannya. Tapi Pamannya sekarang sedang berada diluar kota dan sangat sulit untuk dihubungi.”
 “Bisa nggak kalo Mbak ikut kami ke kantor. Kami menemukan beberapa barang di dompetnya yang mungkin saja Mbak kenal.“ lanjut salah seorang anggota Polisi yang diketahui Mitha bernama Andy Kurniawan dari papan nama yang terjahit dibaju seragamnya.
“Baiklah Pak.“
Ia berserta dua orang anggota Polisi tersebut langsung menuju ke kantor Polisi. Sesampainya di sana, ia ditunjukkkan dengan beberapa barang.
“Ini KTPnya,“ sodor anggota Penyidik Kepolisian kepadanya. Ia  memperhatikan dengan seksama foto tersebut.
“Foto ini mirip, tapi saya masih belum yakin. Apa ada foto yang lainnya?“ ucapnya dengan nada ragu. Lalu anggota Penyidik tersebut mengambil sebuah foto bewarna ukuran wallet. Tapi foto tersebut dalam keadaan setengah rusak. Ia mengambil foto tersebut dan alangkah terkejutnya ia ketika melihat foto tersebut adalah foto Eric bersama dengan Rey.
“Sayang, kondisi fotonya setengah rusak. Mungkin saja orang yang di sebelahnya itu adalah Eric. Hanya gambar temannya saja yang masih tampak bagus. Apakah Mbak kenal dengan gambar ini?“
Mitha tak dapat berkata apa – apa lagi. Ia sekarang yakin bahwa mayat itu adalah mayat Eric.
“Dia pacar saya Pak,“ ucapnya berat dengan mata yang berkaca – kaca.
“Jadi?“
“Ya, itu memang mayat Eric. Temen pacar saya.“
“Sekarang pacar Mbak ini di mana. Kami ingin meminta beberapa keterangan darinya.“
Jantungnya berdegup dengan keras. Tidak salah lagi, Rey ada hubungannya dengan kematian Eric. Dengan berat hati ia mengatakannya.
“Saya sudah tidak pernah bertemu dengannya selama seminggu ini Pak. Dia menghilang bagaikan ditelan bumi.“ Air mata mulai meleleh di pipinya. Anggota Penyidik tersebut mengerutkan dahi. Ia merasa mulai menemukan titik terang.
“Siapa nama pacar Mbak itu?“
“Rey . Lengkapnya Andrey Wiguna,“ ucapnya sambil menyeka air matanya.
“Bisa tunjukkan di mana rumahnya?“
 “Dia ngekos Pak di daerah Selindung.“
“Wah, tidak jauh dari lokasi mayat ditemukan. Oke, sekarang kita ke sana.“
Mereka kemudian meluncur ke kos Rey dengan Mitha sebagai penunjuk jalan. Kali ini Polisi datang lengkap dengan satuan anjing pelacak. Sesampai di sana, pintu kos Rey yang terkunci rapat langsung didobrak dengan paksa. Tim Penyidik Kepolisian mulai memasuki kos. Mitha turut serta dari belakang. Beberapa orang wartawan media cetak lokal dan wartawan TV nasional juga ikut masuk ke dalam untuk meliput. Kehadiran Polisi dan wartawan sontak menarik perhatian warga sekitar. Mereka berkerumun di sekitar kos, tapi mereka tidak bisa mendekat ke kos karena telah dipasangi Police Line.
 Noda darah yang berhamburan di lantai menyambut kedatangan para Tim Penyidik Kepolisian. Darah tersebut sudah tampak mengering. Sebuah gunting panjang berlumuran darah tergeletak di lantai. Mitha tak kuasa melihat itu semua. Ia memalingkan pandangannya dan memutuskan untuk keluar dari tempat itu. Tapi tiba – tiba saja ada seorang wartawan menghampirinya dan mewawancarainya.
“Kami dengar, Mbak ini pacar dari pemilik kos ini? Apakah itu benar?”
Mitha jadi sedikit kikuk karena diwawancarai secara tiba – tiba. Ia tidak siap.
“He-eh . . . Ya,” jawabnya gugup.
“Apakah Mbak mengetahui sebenarnya ada masalah apa antara pacar Mbak dengan si korban?”
“Maaf, saya belum bisa jawab sekarang.”
Mitha lalu menghambur keluar menghindari wartawan tersebut. Namun langkahnya segera ditahan oleh salah seorang anggota Penyidik Kepolisian.
“Bisa ikut saya untuk memberi beberapa keterangan lainnya?”
Mitha mengangguk lalu ia dibimbing masuk ke dalam mobil. Ia merasa tenang bila memberikan keterangan kepada polisi. Daripada kepada wartawan yang terkadang hanya bisa melebih – lebihkan untuk menaikkan oplah penjualan koran mereka.
 “Apa sebelumnya pacar anda ini pernah cekcok dengan korban?“
“Pernah. Tapi itu soal sepele dan tampaknya sudah diselesaikan olehnya.“
“Apa masalah tersebut ada hubungannya dengan anda?“
Mitha menjawab dengan gugup.
“Re . . . Rey tidak suka kalo Eric menatap saya terlalu lekat. Pada saat itu mereka sempat berkelahi. Tapi tampaknya masalah tersebut sudah selesai dan menurut saya ini bukan masalah yang besar karena mereka berdua adalah teman dekat. Rey pun tidak pernah membahasnya, jadi saya kira sudah diselesaikannya,“ jelasnya. Anggota Penyidik tersebut mencatat poin – poin penting dari keterangan yang dilontarkan Mitha.
“Apakah ada saksi, Pak?” tanya Mitha tiba – tiba.
“Kami telah meminta keterangan dari beberapa warga. Namun sayangnya, mereka  tidak ada tahu tentang kejadian ini.”
“Walaupun tidak ada saksi mata, toh bukti – bukti yang ada sudah cukup jelas. Sekarang kuncinya ada di Rey. Kita tunggu saja sampai dia ditemukan,” lanjut Penyidik tersebut.
Merasa telah cukup dengan keterangan yang diperolehnya, anggota Penyidik Kepolisian tersebut keluar dari mobil dan meninggalkan Mitha sendirian. Di dalam mobil, Mitha tak henti – hentinya menangis. Rey yang begitu ia kagumi dan ia cintai tega berbuat sekejam itu.
“Ada apa denganmu Rey? Kenapa kau membunuh Eric? Apa salahnya terhadapmu? Bukankah kalian teman dekat?”
Mobil perlahan melaju meninggalkan pelataran kos. Ia melihat kedaaan di luar dari kaca mobil yang buram dengan tatapan kosong. Cobaan apa lagi yang harus ia terima. Kelakuan Ibunya yang liar, perkosaan yang terjadi padanya dan kini Rey – orang satu – satunya yang ia andalkan untuk menumpahkan segala kesedihan sekarang menjadi tersangka kasus pembunuhan.
“Apa lagi ini Tuhan?“

♥♥♥

Berita tentang kematian Eric menyebar dengan cepat dan menjadi perbincangan yang hangat di kalangan masyarakat. Spekulasi yang berkembang di masyarakat tentang penyebab mengapa Eric tewas dibunuh pun beragam. Mulai dari masalah sepele antar teman hingga isu cinta segitiga.
Foto Rey pun terpampang di koran – koran lokal sebagai orang yang paling di cari dan tersangka tunggal atas kematian Eric. SMA Negeri 3 tempat di mana Rey bersekolah tiba – tiba menjadi pusat perhatian. Tanpa banyak basa – basi lagi pihak sekolah langsung mengeluarkan Rey dengan tidak hormat. Mitha yang juga bersekolah di sana pun sudah dua hari tidak menunjukkan batang hidungnya. Semua warga SMA Negeri 3 tahu bahwa ia adalah pacar Rey. Ia hanya ingin mencoba menenangkan diri sejenak.
Pagi itu koran dengan headline berita mengenai kematian Eric tergeletak di depan teras dalam kondisi terlipat dua. Seorang anak kecil pengantar koran itu berlalu dari depan rumah mewah tersebut dengan mengendarai sepeda. Seorang wanita membuka pintu dan mengambil koran tersebut. Ia membacanya dengan santai di ruang tengah sambil menikmati secangkir teh hangat. Matanya sangat tertarik dengan tulisan headline utama koran yang dicetak besar dengan huruf kapital berwarna merah.
“ERIC DI DUGA TEWAS DI BUNUH OLEH TEMANNYA SENDIRI“
Ia mulai membacanya dengan serius. Tiba – tiba matanya berhenti membaca setelah ia melihat inset foto Rey terpampang di dalam kolom kecil di samping artikel berdampingan dengan foto jenazah Eric.
“Rey? Ini Andrey ‘kan? kok bisa . . . ?“ katanya terkejut.
Ia membaca artikel tersebut hingga tuntas.
“Ya Tuhan, kok bisa Rey berbuat seperti itu?“ gumamnya pelan. Seketika senyuman licik mengembang dari sudut bibirnya yang tipis.
“Hady Wiguna. Kau harus tau berita ini.“
Dengan langkah yang tergesa – gesa ia membawa koran tersebut ke dalam kamar. Ia membangunkan Hady yang terlelap tidur dengan kasar.
“Hey . .  bangun . . . bangun . . . !!“ goyangnya kasar. Matanya mulai terbuka perlahan. Ia marah tapi tidak dapat berucap.
“Kenapa?! Marah?!,“ sembur wanita tersebut dengan mata melotot. Hady hanya bisa balas melotot. Ia ingin berbicara, tapi mulutnya kaku karena stroke yang ia alami seminggu yang lalu.
“Pagi ini aku akan memberikanmu suatu kejutan besar. Lihat . . kau lihat ini!!“ ucapnya sambil menunjukkan koran bergambar wajah Rey. Ia terkejut melihat foto anaknya terpampang di koran tersebut. Ia membaca headline di atas foto tersebut dengan mata berkaca – kaca.
“Aha . . . !!! Tak kusangka anakmu tercinta ini bisa melakukan perbuatan seperti itu.“
Air mata mulai meleleh di pipinya. Melihat itu wanita tersebut tertawa lebar – lebar.
“Keluargamu telah bobrok. Winda jadi orang gila. KAMU!!! Hady!! terkena stroke dan sekarang Rey jadi buronan. Aku tau surat wasiatmu sekarang atas nama Rey. Tapi kau liat sendiri keadaan Rey sekarang. Jadi, orang yang pantas mengambil alih surat wasiatmu itu adalah tidak lain dan tidak bukan AKU!!“
Hady terlihat makin menggeram. Matanya membelalak penuh amarah.
“Ya sudah. Sekarang aku akan menghubungi pengacaramu untuk mengubah isi surat wasiat itu.“
Braakk!!!, pintu kamar di banting dengan keras. Hady hanya bisa menangis. Ia tidak dapat berbuat apa – apa untuk mencegah istri mudanya agar tidak menemui pengacaranya dan mengubah isi surat wasiat itu. Ia hanya sendirian di rumah yang besar itu. Tidak ada yang bisa membela dan membantunya.
“Halo, Pak Gunawan. Selamat pagi. Saya Melinda istrinya Pak Hady. Saya harap besok Bapak datang ke rumah. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan. Terima kasih.” Ia meletakkan gagang telepon sambil mengembangkan sebuah senyuman kemenangan.
“Sebentar lagi, harta dan rumah ini akan menjadi milikku. Setelah surat wasiat itu atas namaku, si Hady tua bangka itu akan kubuat mampus untuk selama – lamanya.“
Ting tong!!
Bel pintu tiba – tiba berbunyi memanggil si penghuni rumah agar segera membukanya dan menyambut siapakah tamu yang datang dari balik pintu. Melinda segera menghampiri dan membuka pintu tersebut. Ia terkejut setelah tahu bahwa yang datang bertamu adalah dua orang anggota Penyidik Kepolisian.
“Maaf Bu, kami dari Kepolisian Resort Kota Pangkalpinang,” kata salah seorang anggota Polisi menunjukkan identitasnya.
“Ada keperluan apa?” tanya Melinda agak gugup.
“Kami datang ke sini untuk meminta keterangan dari Ibu seputar kasus yang menimpa anak Ibu,” jawab Polisi tersebut sembari mengamati penampilan Melinda dari atas hingga bawah. Ia merasa sedikit heran bercampur surprise, “Apakah benar wanita muda ini Ibunya Rey? Terlihat sebaya dengan anaknya?” batin Polisi tersebut sambil terus menelusuri tubuh Melinda yang sintal, padat dan kencang seperti gadis remaja itu dengan kedua matanya.  Melinda agak risih diperhatikan seperti itu.
“Ya . . . silahkan masuk.”
Melinda mempersilahkan duduk dua orang anggota Kepolisian tersebut. Ia agak cemas. Entah pertanyaan yang seperti apa yang akan dilontarkan oleh Polisi – polisi tersebut kepadanya.
“Baik, kita mulai saja. Apa Rey sering berkunjung ke rumah?”
“Tidak pernah. Semenjak dia ngekos, dia sudah tidak pernah lagi datang berkunjung ke rumah. Bahkan disaat Ayahnya terbaring sakit terkena stroke seperti sekarang ini, dia tidak mengetahuinya,” jelas Melinda dengan penuh percaya diri. Polisi yang melontarkan pertanyaan tersebut mengerutkan dahinya tanda heran.
“Bukannya Rey masih ngekos di kota ini? Masa dia tidak mengetahui kalo Ayahnya sakit? Apa Ibu memang sengaja tidak memberi taunya?”
Melinda menjadi salah tingkah mendengar pertanyaan tersebut. Ia sedikit menyesal telah melontarkan jawaban tadi.
“Sebenarnya . . . Rey itu anaknya keras kepala dan pembangkang. Dia ngekos dan memilih keluar dari rumah ini karena dia tidak suka dengan saya.”
“Maksudnya?” tanya Polisi tersebut ingin tahu.
“Dia tidak suka karena saya istri muda Ayahnya.”
Polisi tersebut mengangguk paham. “Pantas dia terlihat lebih muda,” batinnya. Ia meneruskan pertanyaannya.
“Kapan terakhir Ibu berhubungan dengan Rey?”
“Terakhir saya berhubungan dengannya ya . . . pada saat dia meminta ijin kepada Ayahnya untuk keluar dari rumah ini dan memilih tinggal di kos.”
Dua anggota Kepolisian tersebut saling pandang tanda keterangan yang didapat sudah cukup.
“Baiklah, terima kasih atas keterangannya. Kalau Ibu melihat Rey ada di sekitar sini atau mempunyai sedikit informasi tentang keberadaannya mohon Ibu hubungi kami. Kami permisi dulu.”
Polisi – polisi tersebut telah berlalu dari hadapannya. Selang beberapa menit kemudian, Melinda kembali menerima tamu yang kali ini adalah wartawan media cetak lokal kemudian dilanjutkan dengan wartawan salah satu stasiun televisi nasional. Hari itu, Melinda mendadak menjadi selebritis. Ia melayani kedatangan wartawan – wartawan tersebut hingga hari beranjak siang.
Daun – daun pohon kamboja masih menyimpan titik air hujan sisa semalam. Bau tanah yang khas tersiram hujan masih tercium samar – samar. Rumput – rumput jepang yang menghiasi gundukan tanah makam tampak segar hijau berdiri, menambah keasrian deretan – deretan makam yang berjajar rapi dengan bentuk batu nisan seragam berukir identitas si penghuni liang.
Mitha berjalan perlahan melewati rumah – rumah masa depan tersebut. Sesekali ia berhenti di salah satu makam karena tertarik membaca identitas yang terpatri di batu nisan. Melihat tanggal lahir dan tanggal kematian di pemilik liang membuatnya tertegun sejenak. Betapa manusia tidak bisa menghindar dari yang namanya takdir kematian. Bila Tuhan menghendaki kita mati hari ini – ya mati. Tidak ada kompromi. Tidak ada basa – basi. Siap atau tidak siap kita harus menerimanya. Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Semua itu sudah jelas adanya.
Disalah satu sudut makam, tampak seorang wanita berkerudung selendang hitam menangis tersedu – sedu di samping makam yang masih baru. Makam yang masih berupa gundukan tanah lengkap dengan nisan kayu tertancap itu tampak sedikit longsor tanahnya diterpa hujan deras tadi malam. Gundukan tanah merah tersebut meluber ke samping kiri dan kanan makam hingga hampir membuat gundukan tersebut rata dengan tanah. Nisan kayu yang tertancap pun tidak menancap dengan sempurna. Disenggol sedikit saja nisan tersebut jatuh ke tanah.
Mitha mendekati wanita tersebut dengan hati – hati. Ia menepuk pundaknya dengan lembut.
“Chaca,” sapanya pelan.
Chaca menoleh dengan mata berkaca – kaca, lalu spontan ia memeluk Mitha dan menangis sejadi – jadinya. Mitha mengerti perasaan Chaca yang sedih. Ia mengusap punggungnya mencoba menenangkan.
“Sudahlah ‘Ca. kamu nggak usah sedih lagi ya? Yang lalu biarlah berlalu.”
Chaca melepaskan pelukannya dan menyeka air matanya.
“Aku tidak bisa . . . tidak bisa, ‘Tha.”
“Apakah kau melihat jenazah Eric waktu di rumah sakit?”
“Aku tidak melihatnya ‘Tha. Aku menyesal tidak bisa melihat dia untuk yang terakhir kalinya. Waktu itu aku sedang berada di Bali. Aku tau Eric telah tewas mengenaskan setelah aku berkunjung ke rumah Pamannya dan dia bilang Eric telah . . . “
Chaca tidak meneruskan perkataannya karena tidak kuasa membendung air matanya yang mulai mengalir lagi membasahi pipinya. Mitha turut iba melihatnya. Berulangkali ia memaki Rey di dalam hati.
“Apakah kau tau apa sebenarnya masalah yang terjadi di antara mereka berdua?”
Chaca menggeleng.  Ia mencoba mengingat kejadian di kafe pada waktu itu.
“Aku tidak tau. Tampaknya mereka sudah mempunyai masalah sebelum kejadian baku hantam di kafe waktu itu. Kau ingat sikap mereka berdua yang aneh ‘kan?”
Mitha jongkok lalu membenarkan nisan Eric yang miring.
“Ya . . . aku juga berpikiran seperti itu. Berarti Rey mengarang – ngarang alasan pada waktu itu.”
“Apa ‘Tha?” tanya Chaca antusias. Mitha menatapnya sambil menimbang – nimbang jawaban yang akan dilontarkannya. Ia tahan dirinya untuk tidak mengucapkan perkataan tersebut. Takut Chaca cemburu. Tapi setelah dipikir – pikir, tidak apa – apa kalau ia mengucapkannya. Toh, Eric telah meninggal. Jadi tidak ada masalah.
“Rey bilang dia memukul Eric karena . . . Eric memandangiku terlalu lekat dan agak bernafsu. Maaf ‘Ca, aku tidak ada . . . “
“Apa!!!” sela Chaca dengan nada tinggi. Mitha terperanjat kaget tak menyangka kalau Chaca cemburu. Benar dugaannya tadi.
“Jadi cewek itu kamu ‘Tha!?
“Maksudmu?” tanya Mitha tak mengerti.
“Sebelum Eric tewas terbunuh, dia memutuskanku begitu saja. Memang, dia tidak mengaku pas aku tuduh dia punya cewek lain. Tapi aku tau, dia memutuskanku karena dia punya cewek lain. Cewek itu kamu ‘kan?!” tuduh Chaca sembarangan.
“Aku nggak ngerti apa maksud kamu? Aku nggak ada hubungan apa – apa dengan Eric?”
“Alah!!! Sudahlah ‘Tha!!. Sekarang aku yakin, Eric menyobek – nyobek foto kebersamaannya dengan Rey waktu itu karena dia kesal ternyata Rey yang mendapatkanmu. Lagipula, aku heran dengan sikap Eric yang terus bercerita tentang kalian berdua,” tuduh Chaca lagi.
“Menyobek – nyobek foto maksudmu?” ucap Mitha semakin tak mengerti. Chaca melotot dan berjalan mengitari Mitha.
“Aku telah mendapatkan kesimpulannya. Rey membunuh Eric karena memperebutkanmu. Ya . . . memperebutkanmu!! Dengan tewasnya Eric, Rey tidak mempunyai saingan lagi. Dasar JALANG!!!”
Tak tahan mendengar ocehan Chaca yang terus memojokkan dirinya, spontan ia menampar Chaca dengan keras.
“Cukup ‘Ca!!! aku bukan seperti yang kau tuduhkan!!!” bentak Mitha keras. Chaca menatap tajam Mitha sambil memegangi pipi kirinya yang perih karena tamparan kerasnya.
“Terserah kau mau percaya atau tidak. Aku hanya sekali bertemu dengan Eric. Itupun waktu kita berada di kafe. Selebihnya tidak! Rey pun tidak pernah bercerita tentang Eric kepadaku,” lanjut Mitha menjelaskan.
Chaca mendengarkannya dengan senyuman tak percaya.
“Kau dengar ‘Ca!! Sekali lagi aku jelaskan, Rey memukul Eric karena dia memandangiku terlalu lekat. That’s it!! Hanya itu!! Aku juga tidak menyadarinya waktu itu. Jangan juga salahkan aku kalau Eric menaruh perhatian kepadaku. Kalaupun dia suka aku, toh aku juga tidak peduli. Cintaku hanya untuk Rey,” tegas Mitha.
“Omong kosong!!!” sembur Chaca.
“Kau tidak bisa seenaknya menuduhku mempunyai hubungan dengan Eric hanya lantaran aku bilang Eric memandangiku terlalu lekat. Terlalu kekanak – kanakan pikiranmu!” lanjut Mitha lagi dengan mata berkaca – kaca. Chaca tetap tidak terpengaruh dengan penjelasan Mitha. Ia yakin pada pendiriannya bahwa Mitha adalah selingkuhannya Eric.
“Hanya Rey yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi!!!”
Chaca memandang Mitha dengan tatapan yang menantang.
“Kita lihat saja siapa yang benar nanti? Kuncinya ada di Rey. Kita tunggu saja sampai dia diketemukan.”
“Aku nggak peduli ‘Tha!! Besok aku akan berangkat ke Bali. Aku ingin melupakan semua kenangan burukku di pulau ini. Selamat tinggal.”
Chaca berbalik arah lalu melangkah pergi meninggalkan areal pemakaman sampai bayangannya tidak terlihat lagi. Mitha terduduk di samping makam dengan menangis. Ia sedih karena telah dituduh yang bukan – bukan oleh Chaca.
“Aku tidak seperti itu!!!” teriaknya keras. Ia merasa Tuhan tidak adil kepadanya. Apa yang selama ini menimpanya tidak sebanding dengan apa yang dialami oleh Chaca. Ia tidak rela Chaca pergi dengan masih menyimpan kesalahpahaman terhadapnya. Ia ingin membuktikan apa yang dituduhkannya itu salah.
Mitha beranjak pergi meninggalkan makam Eric dengan diringi bunga – bunga kamboja yang jatuh berguguran ditiup angin.


♥♥♥

Pantai Tanjung Kelayang, Sungailiat.

Gulungan ombak tampak saling berlomba untuk dapat sampai ketepian. Buihnya yang putih, membusa di tepi pantai. Angin berhembus dengan kencang menyibakkan rambut Mitha yang panjang tergerai, terlihat melayang – layang bagaikan sehelai kain selendang. Ia berjalan pelan menyusuri pantai. Kakinya bertelanjang menerjang air pantai yang hangat hingga membasahi betisnya yang putih mulus.
Tiap berjalan di pantai itu, ia selalu teringat akan kenangannya bersama Rey. Berlari – larian, saling mencipratkan air hingga di tempat itulah Rey memberikannya seuntai kalung liontin. Ia memegang kalung liontin yang tergantung di leher jenjangnya. Engselnya di bukanya perlahan. Dari dalam sana tersimpan foto Rey dan dirinya. Perasaan marah, sedih dan kecewa selalu datang setiap kali ia memandang foto Rey. Tapi di balik semua perasaan itu, masih terselip rasa sayang dan cinta yang mendalam terhadapnya. Ia tidak dapat melupakannya walaupun telah dicobanya berulangkali. Bagaimanapun juga, Rey adalah sosok yang pernah singgah mengisi hatinya. Ia adalah idola baginya yang dulu tidak mungkin didapatkan cintanya karena kebekuan hati yang dimilikinya.
Bola mata Mitha mengedar ke seluruh penjuru pantai, mencoba mencari – cari serpihan – serpihan memori indah yang dulu pernah terjadi di setiap sudut pantai. Pasir putih, air laut yang biru, pohon – pohon cemara dan batu – batu granit besar yang menjulang tinggi menjadi saksi bisu kenangan indahnya bersama Rey.
 Tiba – tiba matanya berhenti mengedar. Seketika pandangannya tertuju kepada sebuah batu granit besar yang terdapat di ujung pesisir pantai. Ia tidak sabar untuk dapat sampai ke sana dan menaiki batu besar yang menjulang tinggi tersebut untuk melihat pemandangan yang indah dari atas sana. Kenangan terindah yang pernah ia alami di pantai itu terjadi di atas batu granit besar tersebut. Di atas sana, Rey memberikan seuntai kalung liontin sambil berkata bahwa ia adalah cinta pertamanya. Sungguh kenangan yang sangat romantis.
Sementara itu dari kejauhan tampak seorang laki – laki sedang merayap dengan cepat di sisi batu granit besar tersebut hingga dalam sekejap mata ia sudah sampai di atas batu tersebut. Ia merentangkan kedua tangannya seperti hendak menantang dunia. Angin yang menerpa bajunya membuatnya tampak melayang – layang seperti terbang.
Mitha memfokuskan penglihatannya, siapa sebenarnya laki – laki itu. Ia penasaran. lantas ia percepat langkahnya hingga akhirnya sampai di batu besar tersebut. Ia menaikinya dengan hati – hati dan sesampainya di atas ia bersembunyi dibalik batang pohon beringin yang besar yang tumbuh di atas batu granit tersebut. Ia terus memperhatikan lelaki itu. Dari fisiknya yang tinggi kekar ia tahu bahwa lelaki itu adalah Rey. Ia tidak menyangka akan bertemu dengannya di tempat itu setelah hampir satu bulan lamanya ia menghilang dan sampai saat ini Polisi belum berhasil menemukannya. Perlahan ia mendekatinya. Ia sadar bahwa yang didekatinya sekarang bukan Rey yang dulu, tapi Rey seorang pembunuh.
“Rey,“ sapa Mitha. Rey terkejut mendengar suara Mitha. Lekas – lekas ia menoleh ke belakang.
“Mitha?“ katanya terkejut. Matanya berkeliling melihat ke segala penjuru arah dan menatap Mitha dengan curiga. Ia panik.
“Aku sendirian. Tak ada polisi yang mengikutiku,“ ujarnya. Rey menghela napas lega.
“Sudah saatnya kau menjelaskan semuanya sekarang. Aku tidak ingin Chaca menuduhku yang bukan - bukan bahwa aku mempunyai hubungan dengan Eric. Apa sebenarnya masalahmu dengan Eric, Rey?“ tanya Mitha dengan nada sinis. Rey membuang pandangannya ke laut lepas. Ia menyulut sebatang rokok dan seketika asapnya mengepul memenuhi udara.
“Aku takut kau sakit hati bila aku jelaskan semuanya,“ jawabnya dingin.
“Aku tidak akan sakit hati. Toh, semua itu nggak ada hubungannya sana sekali denganku,“ ujar Mitha santai. Rey tertawa menyeringai.
“Ini semua berhubungan dengan aku, kamu dan bahkan Mamamu.“
Mitha tidak mengerti arah pembicaraannya.
“Sekarang kau bilang. Kenapa kau melakukan semua ini,“ tanyanya lagi. Rey membuang puntung rokoknya dan menginjaknya hingga hancur.
“Kau tau siapa yang memperkosamu?“ tanyanya dengan tatapan yang menghujam. Mitha menggeleng.
“Eric,“ jawabnya singkat. Deg! Mitha terkejut bukan kepalang.
Nggak . . . nggak mungkin. Ini rekayasamu ‘kan Rey untuk membenarkan pendapatmu tentang Eric waktu itu, saat kita di kafé bersamanya?“ bantah Mitha. Rey tertawa kecil.
“Terserah kau mau percaya atau tidak. Namun yang jelas, dia sendiri yang bilang. Bahkan, dia mengaku pernah tidur dengan Mamamu.“
Sekelebat ia teringat akan tingkah aneh Ibunya saat melihat foto Eric di televisi. Mitha menarik napas yang panjang. Ia mulai percaya dengan perkataan Rey.
“Kalau itu masalahnya, kenapa harus diselesaikan dengan cara seperti itu Rey?“ ucap Mitha dengan mata berkaca – kaca. Emosi Rey meledak dan spontan ia mencengkram pundak Mitha dengan keras.
“Eric telah merusak masa depanmu ‘Tha?!!! Apa kau tidak sadar itu!!!! Dia itu biadab!! biadab!!!!“ teriaknya keras. Mitha terperangah dibuatnya. Perlahan air mata mulai jatuh membasahi pipinya.
“Tapi itu bukan alasan Rey?“ ujarnya terisak. Rey melepaskan cengkramannya dan menumpahkan kekesalannya ke laut lepas.
“AHHKKK . . . !!!!!“. Suaranya menggema ke segala penjuru pantai. Burung – burung berterbangan dari puncak – puncak pohon.
“Kau menyakitiku dengan melakukan itu? Apa kau pikir masalah selesai setelah kau membunuhnya. Kau jadi buronan Rey.“
Rey kembali menatap Mitha dengan tatapan menghujam.
“Apa kau masih mencintaiku setelah apa yang kulakukan ini?“ tanyanya hingga membuat Mitha terdiam. Ia tertunduk dan tak tahu harus menjawab apa. Jauh di lubuk hatinya sebenarnya ia masih mencintainya.
“Aku tidak dapat membencimu Rey. Aku masih mencintaimu walaupun pada kenyataannya . . .“
“Kenyataan bahwa aku ini adalah seorang pembunuh?“ sela Rey.
“Lebih baik kau tidak usah mencintaiku lagi. Karena aku tidak pantas untuk kau cintai,“ katanya memeluk Mitha dengan erat. Mitha menangis di pelukannya.
“Sudah saatnya kau tau yang sebenarnya.“
“Apalagi yang harus kutahu Rey?“
“Eric memperkosamu karena ia cemburu.“
“Cemburu ? Maksudnya?“
“Ya, semua kejadian yang menimpamu adalah gara – gara aku. Seandainya aku tidak pernah masuk dalam kehidupanmu.”
Mitha mengernyitkan dahinya tak mengerti.
 “Berbagai macam cara – cara busuk dan konyol telah dia lakukan untuk menghancurkanku. Mulai dari video mesum kami berdua sampai memperkosamu.“
“Kau menjadi alasanku untuk berubah. Tapi benar apa yang diucapkan Eric. Aku tidak akan pernah berubah sesuai dengan kehendak Tuhan. Memang seharusnya aku bisa menerima diriku apa adanya.“
Mitha merasakan Rey semakin meracau, berkata – kata yang tidak dimengerti olehnya. Cemburu, video mesum, apa maksudnya ini?
“Aku mau bilang . . . jangan cintai aku lagi. Karena aku adalah seorang . . .”
Byarrrrrr!!! Air bathtub tumpah membasahi lantai. Mitha tersentak bangun dari rendamannya. Airnya memercik ke segala arah. Ia syok bila mengingat pengakuan Rey kemarin tentang dirinya. Ia menyesali diri mengapa sampai bisa begitu mencintainya dengan sepenuh hati, padahal Rey hanya ingin mempermainkannya. Di dalam hatinya tidak pernah terselip sedikit pun rasa cinta. Hanya rasa terpaksa yang terdapat dalam hatinya untuk mencintainya. Mitha menumpahkan semua emosinya. Air shower begitu deras membanjiri tubuhnya. Ia menangis sejadi – jadinya.
“Mengapa kau menerima ciumanku Rey? Apa artinya rasa cinta palsu yang kau berikan kepadaku sementara kau sendiri tidak mencintaiku,“ teriaknya keras.
“Aku jijik denganmu, Rey!!!“ teriakannya beradu dengan derasnya deru suara air yang mengalir dari shower.
 Beberapa hari kemudian Pak Gunawan datang menemui Melinda di rumahnya.
“Ada keperluan apa yang ingin anda bicarakan kepada saya?”
“Saya hanya ingin mengetahui siapa hak waris atas semua harta suami saya?” tanyanya dengan nada ingin tahu. Pak Gunawan berdehem sambil membenarkan kacamata min – nya.
“Maaf, saya tidak dapat memberitahukannya.”
“Anda harus mengatakannya. Ini penting mengingat kesehatan suami saya saat ini tidak menentu dan anda tau sendiri, Rey sekarang menjadi buronan Polisi,” sergahnya dengan suara tinggi. Pak Gunawan mengangguk pelan. Ia lalu membuka tasnya, mengambil amplop besar berwarna coklat muda dan mengeluarkan surat tersebut dari amplop.
“Sebenarnya harta warisan Pak Hady pertama kalinya jatuh ke tangan anda. Tapi karena suatu dan lain hal, satu minggu yang lalu sebelum dia terkena stroke, dia mengubahnya menjadi atas nama Andrey Wiguna.”
Deg! Ternyata dugaannya benar tentang surat wasiat tersebut. Surat tersebut sekarang atas nama Rey. Ia sedikit menyesal atas perbuatannya yang ketahuan selingkuh dengan laki – laki lain saat berada di rumah.
“Tapi bisa’kan surat itu dikembalikan lagi atas nama saya?” pinta Melinda. Pak Gunawan mengerutkan dahinya.
“Maaf, saya tidak bisa mengubah surat tersebut. Semua harus melalui persetujuan dari Andrey atau Pak Hady sendiri.”
Melinda menggeram mendengar perkataan tersebut.
“Sekali lagi saya bilang, anda tau ‘kan kondisi suami saya? Dia tidak dapat bicara! Tangannyapun tidak bisa digerakkan. Jadi bagaimana saya harus minta persetujuannya? Pasti suami saya setuju kalau seluruh harta warisannya dipindahkan lagi ke tangan saya,” jelas Melinda. Pak Gunawan membereskan suratnya dan menaruhnya kembali ke dalam tas. Ia bangun dari tempat duduknya.
“Lebih baik kita tunggu sampai Rey ditemukan untuk meminta persetujuannya,” ujar Pak Gunawan enteng. Melinda terlihat kesal. Ia pesimis Rey bakal setuju kalau seluruh harta warisan Ayahnya diserahkan ke tangannya mengingat hubungannya yang tidak baik dengan Rey selama ini dan sejak dari semula ia tidak setuju kalau Ayahnya menikah lagi. Lagipula Rey tahu bahwa tujuannya menikahi Ayahnya hanya ingin menguasai seluruh hartanya saja.
Ia menatap Pak Gunawan dengan tajam. Terpancar dari sosoknya yang tegas, tampaknya ia tidak bisa disuap. Ia hanya berharap semoga Rey ditembak mati oleh petugas Kepolisian agar Pak Gunawan tidak punya pilihan lain untuk mengalihkan seluruh harta warisan selain ke tangannya.

♥♥♥


11 p.m.
Malam itu udara sangat dingin. Hembusan anginnya menusuk hingga ke tulang. Seorang laki – laki dengan langkah yang hati – hati masuk ke dalam rumah. ia menapaki satu demi satu anak tangga dengan hati – hati hingga sampai ke sebuah kamar. Di dalam kamar tersebut, ia mengobrak – abrik isinya. Membongkar semua lemari dan rak untuk mencari benda berharga.
Melinda yang tertidur di kamar utama tersentak kaget. Ia terjaga dari tidurnya setelah mendengar suara – suara berisik dari dalam kamar Andrey. Perlahan ia keluar dari kamar dan berjalan mengendap – ngendap menuju ke kamar tersebut sambil membawa sebatang stik golf. Sesampai di depan pintu, ia mengintip dari lubang kunci dan mencoba melihat siapa seseorang yang sedang berada di dalam kamar tersebut. Dari lubang kunci tersebut ia melihat barang – barang seperti terlempar ke belakang dan jatuh berserakan di lantai. Ia yakin bahwa ada perampok di dalam. Dengan jantung yang berdegup kencang dan keringat dingin yang mengucur deras ia memberanikan diri membuka pintu tersebut dan bersiap – siap menyerang. Namun alangkah terkejutnya ia setelah tahu bahwa orang yang ada di dalam adalah Rey.
“Rey?” kata Melinda terkejut menurunkan stik golfnya. Rey pun tak kalah terkejut melihat istri muda Ayahnya itu memergoki aksinya.
“Melinda?”
“Apa yang kau cari Rey?” tanya melinda penasaran sambil mendekat ke arah Rey. Ia melihat barang – barang yang ada di dalam lemari dan rak telah berserakan di lantai. Rey gugup hingga tak dapat berkata apa – apa. Melinda menatap Rey dengan tajam. Ia sedikit asing melihat penampilan Rey yang sedikit agak tak terurus.
“Kau butuh uang Rey?” tanya Melinda lagi namun Rey tetap diam tak menjawab. Ia berdiri terpaku seperti patung.
“Aku tahu, dalam pelarianmu pasti menghabiskan banyak uang. Apakah buronan seperti kau tidak sempat membaca koran? Kau seperti masuk ke dalam perangkap saja Rey. Kau tau apa yang akan kulakukan sehabis melihatmu ada di sini?!” ucap Melinda sinis. Rey balas menatap Melinda dengan tajam.
“Silahkan saja kalau kau mau menelpon Polisi!” tantang Rey. Melinda tertawa kecil.
“Aku ingin melakukannya, tapi setelah melihatmu di sini tiba – tiba hasratku yang dulu bergelora,” desahnya mendekat ke tubuh Rey dan membelai dadanya dengan lembut. Cepat – cepat Rey menampisnya.
“Kau benar – benar perempuan binal!!”
“Kau tau Rey, aku tidak bisa menikmatinya lagi dengan Ayahmu.”
“Dari dulu memang kau tidak menikmatinya, karena tujuanmu menikah dengan Ayahku hanya karena ingin menguasai hartanya saja, iya ‘kan!!” bentak Rey. Melinda bertepuk tangan.
“Seratus untuk kamu! Tebakan kamu benar sekali. Tapi ada berita baru yang harus kau tau tentang Ayahmu sekarang,” ucap Melinda santai.
“Apa?” tanya Rey dengan raut wajah ingin tahu.
“Ayahmu terkena stroke,” jawab Melinda. Rey tersentak kaget. Ia lalu mencengkram pundak Melinda dan menggoncang – goncangkan tubuhnya dengan keras.
“Itu karena ulahmu ‘kan!!” teriak Rey emosi. Melinda berusaha melepaskan cengkraman tangan Rey.
“Lepaskan Rey! Kau menyakitiku!”
“Di mana Ayah sekarang?”
Tuh, di kamar tamu.”
Secepat kilat Rey berlari menuju kamar tamu yang terletak agak jauh dari kamar tidur utama. Sementara itu, Melinda mengikutinya dari belakang.
“Apa kabar ‘Yah?” sapa Rey setelah melihat kondisi Ayahnya yang terbaring lemah tak berdaya. Ia duduk di pinggir ranjang dan memegang hangat tangan Ayahnya.
“Sekarang baru Ayah sadari, hanya Ibulah yang terbaik. Kenapa dulu Ayah menceraikan Ibu hanya karena wanita jalang yang hanya ingin menguasai harta Ayah saja.”
Air mata meleleh di pelupuk mata Ayahnya. Bibirnya terus dimonyongkan mencoba untuk berkata – kata. Namun, tiada kata yang berhasil keluar dari mulutnya. Seandainya ia bisa berbicara, ingin sekali ia mengucapkan kata maaf kepada Rey.
Melinda tertawa mengejek di depan pintu.
“Mengharukan sekali . . cck . . . cck . . . !” sindirnya sambil geleng – geleng kepala. Rey menatapnya tajam. Matanya liar seperti mata hewan buas yang sedang mengintai mangsanya.
“Kau yang melakukan semua ini ‘kan?” tuduh Rey. Melinda tersenyum sinis.
“Ayahmu kecelakaan Rey. Dia terpeleset di kamar mandi. Tentunya aku melakukan sedikit trik klasik. Sedikit busa sabun di lantai kukira bisa membuat Ayahmu tewas seketika. Tapi yang ada malah menyusahkan,” jelas Melinda hingga membuat Rey makin menggeram.
“Kurang ajar kau Melinda!” tunjuk Rey.
“Sebenarnya aku terlambat melakukan itu semua, karena ternyata dia lebih pintar. Dia mengubah isi surat wasiat menjadi atas namamu sebelum aku membunuhnya.”
“Kau memang tidak berhak apa – apa di rumah ini!” sergah Rey. Melinda melotot.
“Aku ingin surat wasiat itu kembali atas namaku! Kuharap kau ditembak mati saja Rey!!”
Rey membalikkan tubuhnya dan berdiri membelakangi Melinda. Diam – diam ia merogoh saku celananya dan mengambil sebuah pisau cutter lipat. Ia membuka lipatannya perlahan dan keluarlah pisau metal berukuran panjang dengan ujungnya yang lancip berkilat. Melinda terus saja mengoceh. Ia tidak menyadari bahwa Rey telah memegang sebilah pisau di tangan kanannya.
“Aku masih punya segudang rencana untuk mendapatkan surat wasiat itu kembali atas namaku.” Rey tertawa menyeringai.
“Apa itu?”
Melinda tak menjawab. Suasana menjadi hening sejenak. Rey menoleh ke belakang dan ia tersentak kaget melihat Melinda sudah tidak ada lagi di tempatnya. Dilihatnya Melinda sedang menelpon Polisi di lantai bawah. Segera saja Rey berlarian menuruni anak tangga ke lantai bawah dan merebut telepon tersebut dengan paksa sebelum Melinda menuntaskan pembicaraannya. Rey menghempaskan telepon tersebut ke lantai. Melinda ketakutan setengah mati melihat sikap Rey yang tiba – tiba berubah menjadi beringas dengan pisau terhunus di tangannya. Melinda mundur perlahan.
“Kau bermain api denganku Melinda!” bentak Rey berjalan perlahan ke arah Melinda dengan pisau terhunus. Melinda mundur teratur dengan wajah pucat pasi.
“Apa yang ingin kau lakukan Rey?” tanyanya dengan suara bergetar ketakutan.
“Kau tidak akan pernah mendapatkan harta itu selamanya, karena aku akan menghentikanmu malam ini juga,” jawab Rey dengan senyuman yang membuat bulu kuduk Melinda berdiri seketika.
“Tentunya kau tau apa yang kutancapkan di perut Eric malam itu?” ucap Rey memainkan pisau yang ada di tangannya.
“Kau akan membusuk di penjara Rey!!!” teriak Melinda. Rey tak peduli. Keringat dingin makin deras mengucur di tubuh Melinda. Ia terpojok di sudut ruang. Tak ada celah untuk melarikan diri.
“Pisau ini akan merobek perutmu!!!”
 Rey mulai menyerang. Melinda berteriak histeris. Ia melemparkan semua benda yang ada di dekatnya. Sebuah guci keramik berhasil mengenai Rey hingga ia roboh jatuh ke lantai. Melinda berlari menuju ke pintu depan. Namun sial baginya, Rey berhasil bangkit dan melemparnya dengan sebuah patung kayu ke arahnya. Melinda jatuh tersungkur. Rey mendekatinya dan menjambak rambutnya kuat. Melinda semakin berteriak histeris.
Suaranya yang melengking terdengar hingga ke telinga Ayah Rey yang terbaring lemah di kamar. Ia mencoba bergerak bangun dan keluar dari kamar untuk mencegah Rey. Namun sayang, ia terjatuh ke lantai. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menyeret tubuhnya hingga sampai ke pinggir pagar pembatas lantai atas. ia melihat Rey menjambak rambut Melinda sambil menodongkan pisau ke perutnya dan bersiap hendak menusuknya. Dengan raut wajah yang pilu ia melihatnya. Ingin ia berteriak tapi tak bisa dilakukannya.
Jreeeeppppp!!! Pisau tersebut berhasil melesat masuk ke dalam perut Melinda dengan sempurna. Melinda meraung sejadi – jadinya. Darah segar muncrat membasahi lantai dengan derasnya. ia roboh jatuh ke lantai dengan bersimbah darah. Matanya membelalak dengan mulut yang menganga menahan sakit. Melinda tewas mengenaskan. Ayah Rey tak kuasa melihat kondisi istri mudanya yang tewas dengan sangat mengerikan di tangan anaknya sendiri tersebut. Ia kembali menyeret tubuhnya masuk ke kamar dengan berurai air mata.
 Setelah melakukan aksinya Rey melarikan diri dengan motornya. Ia melesat kencang bagaikan anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Malam itu satu jiwa baru kembali terbang melayang dengan sia – sia ke alam keabadian. Satu kesalahan membawanya ke berkali – kali kesalahan.
Pantai Tanjung Kelayang, SungaiLiat.
“Hai anak muda! Kenapa kau berdiri terpaku di situ?” teriak seorang Pak tua yang sedang membereskan jaring – jaring penangkap ikannya. Rey sedikit tersentak mendengar teriakan tersebut. Dengan langkah gontai ia berjalan menghampiri Pak tua yang tampaknya seorang nelayan.
“Sedang memandangi awan, Pak,” jawabnya malas. Pak tua tersebut tersenyum.
“Untuk apa kau melakukan pekerjaan sia – sia seperti itu?”
Rey menarik napas panjang.
“Aku hanya berpikir, mengapa aku tidak diciptakan menjadi awan saja. Bisa berguna bagi orang banyak dengan menurukan hujan dan tentunya tidak mempunyai banyak masalah seperti manusia,” tuturnya dengan mendongakkan kepala ke atas melihat deretan awan yang berwarna putih bersih, bergumpal seperti kapas dengan latar langit biru yang indah. Pak tua menghentikan pekerjaannya sejenak. Ia menatap Rey dengan penuh tanya.
“Tapi kau perlu tau satu hal anak muda. Tidak selamanya awan membawa kegunaan bagi orang banyak. Dia juga bisa membuat bencana. Kalau hujannya terlalu deras? Bisa jadi banjir bukan?”
“Ya, tapi setidaknya dia tidak perlu dihukum karena telah melakukan kesalahan tersebut.”
Pak tua terdiam mendengar Rey berbicara seperti itu. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Rey duduk di pinggir perahu Pak tua tersebut sambil melemparkan pandangannya ke laut lepas. Melihat ombak riak – riak gelombang air laut yang biru berkilau – kilauan diterpa cahaya matahari yang terik.
“Apa arti kehidupan menurut Bapak?” tanya Rey tiba – tba. Pak tua kembali menghentikan pekerjaannya.
“Bagi Bapak yang hanya seorang nelayan, taat beribadah kepadaNya adalah hal yang utama. Karena kehidupan yang kita jalani adalah berasal dariNya. Dengan begitu limpahan rejeki dan keselamatan akan menyertai diri kita,” jawab Pak tua dengan penuh wibawa.
“Apa itu membuat Bapak bahagia?” tanya Rey lagi. Pak tua tersenyum simpul.
“Tentu saja.”
“Walaupun disaat Bapak mendapatkan masalah yang hebat?”
“Hidup tanpa masalah bukan hidup namanya.”
“Berarti lebih baik mati saja,” sela Rey hingga membuat Pak tua tersentak kaget. Ia menepuk pundak Rey.
“Kau masih muda anak muda, tidak usahlah kau memikirkan masalah yang berat. Bukankah masa muda adalah masa yang menyenangkan?”
Rey tersenyum kecut. Sekelebat ia melihat bayangan Mitha yang manis dengan rambut panjang hitam tergerai.
“Masalah itu datang tidak memandang usia, Pak,” ujar Rey memainkan seutas tali nilon panjang yang berada di dekatnya.
“Terkadang masalah datang karena manusia itu sendiri yang membuatnya,” ucap Pak tua melanjutkan kembali pekerjaannya. Jaring – jaring yang ia bereskan tampak telah siap untuk dibawanya melaut.
“Kalau masalah itu datangnya dari Tuhan dan hanya Dia yang bisa merubahnya?”
“Kau tinggal berusaha dan berserah diri kepadaNya, niscaya Dia akan merubahnya.”
Rey beranjak bangun dari duduknya. Pandangannya lurus ke depan melihat batu granit besar yang terdapat di ujung pesisir pantai.
“Pak, boleh aku minta tali ini?” pinta Rey seraya menunjukkan seutas tali nilon panjang  ke hadapan Pak tua yang tengah sibuk memeriksa kelengkapan melautnya.
“Oh boleh, silahkan.”
“Terima kasih Pak.”
Rey lalu berjalan menuju ke batu besar tersebut dengan langkah yang pasti. Pak tua heran melihat tingkah laku Rey yang aneh. Sekilas ia melihat Rey berjalan menjinjit. Pak tua mengusap – ngusap kedua matanya berkali – kali untuk memperjelas penglihatannya.
“Akhh!! Mataku memang sudah tua, tidak bisa diajak kompromi,” gumam Pak tua sambil menyeret perahunya masuk ke laut.
Rey terus berjalan menuju batu besar tersebut. Pikirannya kacau, tatapan matanya kosong. Suara – suara hatinya berkecamuk di dalam dada. Suara – suara tersebut tampak nyata terdengar di telinganya.
Diperjalanan, tiba - tiba ia dikejutkan dengan kehadiran Eric. Ia berdiri di bawah pohon cemara sambil melambaikan tangannya dengan wajah yang pucat dan gunting tertancap di perutnya. Ia tertawa mengerikan ke arah Rey. Rey tekejut setengah mati. Seketika bulu kuduknya berdiri. Jantungnya berdetak dengan keras. Cepat – cepat ia mengalihkan pandangannya dan memejamkan kedua matanya.
Agak lama ia memejamkan mata hingga akhirnya dengan segenap keberanian ia memberanikan diri membuka matanya kembali. Bayangan Eric telah lenyap dari pandangannya. Ia meneruskan kembali perjalanannya dengan langkah yang di percepat. Namun tiba – tiba langkahnya terhenti. Di depannya, Melinda berdiri kaku dengan kepala tertunduk dan rambut panjang menutupi wajahnya. Pisau cutter tertancap di perutnya dengan darah yang mengalir keluar. Rey berteriak histeris melihat Melinda yang sudah mati itu tiba – tiba berdiri di depannya. Ia berlari sekuat tenaga menghindar hingga akhirnya ia sampai di atas batu besar tersebut.
Dengan tergesa – gesa ia menaikinya. Sesampainya di atas, ia kembali melihat bayangan Eric di bawah. Namun kali ini ia tidak sendiri. Ia berdiri berdampingan dengan Melinda. Keduanya tertawa mengerikan ke arahnya. Rey berteriak ketakutan. Seketika wajahnya pucat pasi. Keringat dingin mengalir deras di tubuhnya.
“Pergi!! Pergi!!” teriaknya keras. Bagaikan asap yang tertiup angin, bayangan Eric dan Melinda menghilang seketika bagaikan di telan bumi. Rey menghela napas yang sangat panjang. Ia berusaha menenangkan diri.
Di depannya berdiri tegak pohon beringin besar dengan daun – daunnya yang rimbun. Akarnya menghujam dengan kuat di atas celah batu besar tersebut. Sementara sisanya bergelantungan bagaikan tali – tali yang diikatkan di dahan – dahan pohon. Rey berdiri terpaku. Ia teringat akan kenangannya bersama Mitha.
“Kerikil – kerikil tajam itu akhirnya sampai juga,” batinnya. Angin pantai berhembus sepoi – sepoi membawa daun – daun kering berterbangan ke sana – kemari. Rey berjalan perlahan mendekati pohon beringin tersebut dengan seutas tali nilon panjang di genggamannya. Ia melangkah dengan pasti. Tidak ada lagi keraguan dalam hatinya untuk melakukan perbuatan itu. Ia bosan dengan kehidupan yang dijalaninya. Ia takut akan kesalahan – kesalahan yang telah ia perbuat. Ia ingin melarikan diri dari dunia fana ini untuk selama - lamanya.
Sesampainya di bawah pohon beringin tersebut, ia memanjat batangnya hingga sampai pada salah satu dahan yang agak tinggi dari tanah. Ia mengikatkan tali nilon di dahan tersebut dengan erat. Setelah itu, ia membentuk bulatan kecil yang pas dengan ukuran kepalanya di ujung tali yang tergantung tersebut.
Ia memejamkan matanya. Perlahan bulatan tali itu ia kalungkan ke lehernya. Air mata meleleh tiada henti di pipinya. Sesaat ia mengingat semua kenangannya bersama Mitha di pantai itu, senyumannya, kalung lontin dan pelukan hangat. Semua kejadian yang ia perbuat kepada Eric dan Melinda, Ayahnya yang sekarang terbaring tak berdaya, Ibunya yag masih tetap di rumah sakit jiwa hingga hukuman penjara atau bahkan hukuman mati telah menantinya. Ia ingin mengakhiri semuanya.
“Selamat tinggal dunia.”
Taaaassss . . . !!!! Ia melompat turun dari batang tersebut. Seketika talinya menegang dengan kuat dan menggantungnya dengan sempurna. Rey tewas gantung diri. Kematiannya yang tragis diiringi dengan suara deburan ombak dan riuhnya suara nyanyian burung – burung camar.
Hari beranjak petang. Dari kejauhan terlihat Pak tua dengan perahunya berjalan terombang – ambing oleh air laut yang berkilauan bagaikan emas dengan latar belakang sunset yang indah mendekati tepian pantai. Ia bersiul – siul kecil sambil mengedarkan bola matanya ke sekeliling pantai. Ia mengagumi ciptaan yang Maha Kuasa.
Matanya tiba – tiba berhenti mengedar. Penglihatannya terpaku pada sebuah pohon beringin besar yang tumbuh di atas sebuah batu. Di salah satu dahannya terlihat seseorang tengah berdiri seperti tergantung. Pak tua mengucek – ngucek kedua matanya.
“Akh!! Lagi – lagi mataku tak bisa diajak kompromi. Orang itu jelas – jelas berdiri, tapi kenapa penglihatanku dia seperti tergantung?” Pak tua menyandarkan perahunya di sebuah batu karang. Ia ingin beranjak pulang, namun hatinya dilingkupi rasa penasaran tentang penglihatannya.
“Tapi rasanya dia benar – benar tergantung.”
Deg! Seketika ia teringat akan perbincangannya dengan seorang anak muda dan anak muda tersebut sempat meminta seutas tali kepadanya.
“Jangan – jangan?”
Segera saja Pak tua berlari menuju ke batu besar tersebut. Sesampainya di sana, alangkah terkejutnya ia melihat Rey telah tergantung dengan mata terbelalak dan lidah menjulur keluar.

♥♥♥

Mitha berlarian di koridor Rumah Sakit Bakti Timah menuju ke kamar mayat. Wajahnya menunjukkan gurat – gurat kesedihan. Seorang Polisi menelponnya tadi malam dan mengabarkan bahwa Rey telah diketemukan dalam kondisi sudah tidak bernyawa. Kematiannya begitu tragis. Ia gantung diri. Hal tersebut membuat Mitha syok dan sempat beberapa kali pingsan hingga Ibunya terpaksa memanggil dokter ke rumah untuk mengecek keadaannya.
Mitha berdiri terpaku di ambang pintu kamar mayat Rumah Sakit Bakti Timah. Air mata tak henti – hentinya mengalir. Dadanya begitu sesak. Ia tak bisa menahan perasaan sedih yang begitu mendalam. Sekilas kenangan – kenangannya yang telah lalu bersama Rey tiba – tiba saja melintas di depan matanya.
Perlahan ia memberanikan diri untuk masuk ke dalam. Di sana terlihat beberapa orang Polisi dan Dokter tengah memeriksa mayat Rey yang telah terbujur kaku. Semua mata menghujam dengan rasa iba ketika Mitha perlahan melangkahkan kakinya mendekati mayat Rey yang terbujur kaku.
 “Rey!!!”  teriaknya tiba – tiba ketika melihat kondisi mayat Rey yang begitu mengenaskan.
“Kenapa Rey kau bisa bertindak bodoh seperti ini?” ucapnya lirih dengan berurai air mata. Mitha terduduk lemas di lantai. Ia terus menangisi kepergian Rey.
Bayangan memori indah bersama Rey terus melintas di pelupuk matanya bagaikan sebuah slide show. Ia menyesali perbuatannya yang tidak melaporkan Rey ke Polisi saat ia menemukannya di pantai waktu itu. Semua itu ia lakukan semata – mata hanya demi rasa sayang dan cintanya yang besar terhadap Rey. Ia ingin agar Rey bersikap gentleman, berani mengakui kesalahannya kepada Polisi dan mau menyerahkan diri.
Tapi itu semua justru berdampak semakin parah. Dosa besar yang ia perbuat kepada Eric berulang ke istri muda Ayahnya. Melinda ditemukan tewas mengenaskan bersimbah darah di rumahnya sendiri.  Dugaan kuat mengarah kepada Rey setelah Ayahnya sendiri yang memberitahu lewat anggukan kepala saat Polisi menunjukkan foto Rey ke hadapannya. Harta warisan menjadi pemicu utama. Hal tersebut dibenarkan oleh Pak Gunawan, pengacara keluarga Hady Wiguna.
 Ia keluar dari kamar mayat tersebut dan mencoba menenangkan diri. Dilihatnya langit putih dan bersih pada pagi itu. Tampak segerombolan awan mulai bergerak perlahan – lahan tertiup angin.
“Dari dulu kau selalu menginginkan agar kau menjadi awan,” gumamnya pelan. Terlihat bayang – bayang wajah Rey di atas sana.
“Kini tiada masalah lagi yang bakal menghampirimu Rey. Masalahmu kini hanya kepada Tuhan. Kau harus mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu di atas sana.”

♥♥♥
Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati
Ada cerita tentang aku dan dia
Dan  kita bersama saat dulu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kita berduka saat kita tertawa
Teringat disaat kita tertawa bersama
Ceritakan semua tentang kita
Ada cerita tentang aku dan dia
Dan kita bersama saat dulu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kita berduka saat kita tertawa
( Semua Tentang Kita, by. Peterpan )
Di kamar Mitha termenung sambil memandangi foto Rey. Jari - jarinya menelusuri foto tersebut dengan mata berkaca – kaca. Semenjak kematian Rey yang begitu tragis, ia seperti kehilangan gairah hidup. Setiap ia ingat akan kenangan indahnya bersama Rey, setiap itu pulalah ia meneteskan air mata.
“Tidak ada gunanya kau menangisi laki – laki seperti itu,“ ucap Ibunya tiba – tiba berdiri di ambang pintu. Mitha menyeka air matanya. Ia diam tak menjawab.
“Yang lalu biarlah berlalu, Mit?” ucap Ibunya lagi seraya mendekat ke arahnya dan merangkul pundaknya hangat. Ia masih diam tak menjawab.
 “Maafkan Mama Mit. Selama ini Mama selalu mentingin urusan Mama sendiri. Mama memang egois.“
 Ia menatap Ibunya dengan tatapan tajam.
 “Apakah Mama sadar akan kelakuan liar Mama?!“ tanyanya dengan nada emosi.
“Mama tau. Makanya sekarang Mama minta maaf. Kita mulai lagi lembaran hidup yang baru,“ ujar Ibunya dengan mata berkaca – kaca. Mitha mengalihkan pandangannya. Tak ingin melihat wajah Ibunya yang hanya akan membuat dirinya semakin terbawa emosi.
Nggak semudah itu Ma. Udahlah!! Mama keluar aja. Aku mau sendirian sekarang,“ usirnya.
“Oke. . . Tapi satu hal yang mesti kau ingat. Kau tidak akan bisa memikul beban ini sendirian.“
Ibunya beranjak keluar dari kamarnya. Namun langkahnya tertahan di ambang pintu. Ia merasa kecewa karena telah gagal meluluhkan hati Mitha untuk dapat memaafkannya. Diam – diam ia mengeluarkan amplop berwarna putih bersih dari dalam sakunya. Amplop tersebut ia pegang dengan tangan bergetar.
“Andaikan kau tau ini?“ batinnya.
 Amplop tersebut ia masukkan kembali ke dalam sakunya dan berlalu dari depan pintu kamar Mitha tanpa menyadari bahwa amplop tersebut telah terjatuh ke lantai. Sekelebat Mitha melihat amplop tersebut terjatuh. Diam – diam ia mengambilnya dan membacanya.
“KANKER OTAK??”
 Jelegar!!! Bagaikan petir menyambar di siang hari, dadanya terasa sesak saat mengetahui isi amplop tersebut. Saat itu juga, runtuhlah semua rasa benci dan muak yang selama ini menyelimuti hatinya terhadap Ibunya.
Sementara itu, Ibunya berjalan gontai menuruni anak tangga. Pikiran dan tatapan matanya kosong. Ia menatap miris deretan bingkai – bingkai foto yang tergantung rapi di sepanjang dinding anak tangga. Hatinya hancur sekali. Menuruni anak tangga tersebut seakan berjalan di sebuah lorong waktu yang mengingatkan dirinya akan memori – memori indah terdahulu. Ia berhenti di salah satu bingkai foto.
“Mas, kenapa kau berselingkuh? Kurang apa aku ini?“ ucapnya lirih. Jari – jemarinya menelusuri foto tersebut. Perlahan air mata mengalir dari pelupuk matanya.
“Aku rindu saat – saat kita bersama dulu?“ ucapnya terisak. Ia kembali menuruni anak tangga hingga ke bawah. Tapi langkahnya tertahan oleh suara Mitha.
“Ini amplop apa, Ma?“ tanya Mitha dengan suara bergetar. Ibunya menoleh ke arahnya dengan terkejut. Ia meraba sakunya dan ternyata amplop tersebut sudah tidak ada lagi di dalam sana.
“Apakah yang tertulis di surat ini benar, Ma?” tanya Mitha lagi dengan mata yang mulai berkaca – kaca. Ibunya mengangguk perlahan. Lalu Mitha buru – buru menghampirinya dan langsung memeluknya.
 “Aku udah maafin Mama . . . aku udah maafin Mama,“ ucap Mitha terisak – isak. Air mata tumpah membasahi pundak Ibunya.
“Mitha . . . “
Maafin semua kesalahan dan sikap Mitha selama ini ke Mama.”
“Mama udah maafin.  Mama janji nggak akan buat kamu bersedih lagi. Mama akan jadi orang tua yang baik disisa umur Mama yang pendek ini.“
Mereka berdua saling berpelukan hangat. Seakan tak ingin lepas. Rasa ego yang besar yang mereka miliki selama ini seakan musnah dan hilang. Kebahagiaan yang selama ini jauh dari kehidupan akan segera di bangun kembali, walaupun telah menjadi reruntuhan puing – puing yang hancur. Semua itu akan merekat kembali menjadi satu dengan semen cinta dan kasih sayang di antara keduanya.
“Kebahagiaan berakar dalam batin dan tumbuh di atas ketentraman jiwa”
(Kurt Kauffman).


♥♥♥


“Kasus pembunuhan yang terjadi di kota Pangkalpinang propinsi Bangka – Belitung beberapa waktu yang lalu yang dilakukan oleh Andrey Wiguna alias Rey akhirnya ditutup oleh Tim Penyidik Kepolisian setelah Rey ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa karena gantung diri di Pantai Tanjung Kelayang beberapa waktu yang lalu. Pengakuan mengejutkan datang dari mulut pacar Rey, Mitha. Ia mengaku bahwa Rey membunuh Eric karena Eric telah memperkosanya. Hal ini mementahkan isu yang berkembang di masyarakat selama ini tentang adanya motif cinta segitiga. Namun, mengapa Mitha baru mengaku sekarang? Menurut wawancara kami dengan Mitha beberapa waktu yang lalu, sebelumnya ia memang tidak mengetahui apa sebenarnya penyebab Rey membunuh Eric. Ia baru mengetahuinya setelah tanpa diduga – duga Rey menghubungi ponselnya sehari sebelum ia diketahui tewas gantung diri. Pada saat itu Rey meminta maaf kepadanya sekaligus menjelaskan apa sebenarnya motifnya membunuh Eric . . . . . . . . . . ”

Chaca menutup jendela internet explorernya. Ia tertegun sejenak setelah membaca berita tersebut. Ia teringat akan sikapnya terhadap Mitha di pemakaman beberapa waktu yang lalu. Betapa tidak beralasannya dia menuduh Mitha yang tidak – tidak seperti itu. Betapa berdosanya ia terhadap Mitha. Dan betapa kekanak – kanakannya dirinya. Masih terbayang di pelupuk matanya bagaimana ekspresi wajah Mitha yang tak berdosa itu saat dituduh yang bukan – bukan olehnya. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa ia mempunyai pikiran yang sekonyol dan sepicik itu.
Entah dari mana datangnya ide yang tak beralasan tersebut sehingga mampu membuatnya lepas kendali untuk menuduh Mitha melakukan hal yang tidak pernah ia lakukan. Mengapa ia tidak mau mendengarkan penjelasan Mitha pada waktu itu. Entah setan apa yang telah berhasil menyumbat lubang telinga dan menutup mata hatinya hingga penjelasan yang keluar dari mulut Mitha hanyalah seperti sebuah omong kosong yang tidak patut untuk diperdengarkan.
“Haaaahhh . . . !!!!!“ teriaknya kesal. Ia membanting tumpukan – tumpukan buku yang berada di samping monitor komputernya hingga buku – buku tersebut jatuh berserakan di lantai. Ia menyesal dan sangat terpukul sekali. Apalagi setelah ia tahu bahwa Eric telah memperkosa Mitha.
“Eric . . . kau sungguh manusia yang tak bermoral!!“ ucapnya emosi. Seketika ia teringat akan ucapan Mitha yang mengatakan bahwa Eric melihatnya dengan tatapan penuh nafsu saat di café waktu itu, “Ya . . . Mitha benar . . . Mitha benar. Aku memang jahat.”
Malam itu juga Chaca langsung mengemasi pakaiannya dan menelpon agen perjalanan untuk reservasi tiket pesawat. Yang ada di pikirannya malam itu cuma satu. Ia ingin secepatnya pulang ke Pulau Bangka dan segera menemui Mitha untuk meminta maaf.


♥♥♥

“Sekarang semuanya telah terbukti. Aku tidak bersalah. Justru Ericlah yang bersalah.”
“Aku sudah tau semuanya, ‘Tha. Aku membaca beritanya dari internet. Aku minta maaf karena telah menuduhmu yang tidak – tidak waktu itu. Aku menyesal . . “ ucap Chaca dengan wajah yang sangat bersalah.
 “Sudahlah ‘Ca, aku sudah memaafkanmu.”
Chaca menarik napas lega.
“Aku juga turut sedih atas apa yang telah menimpamu. Tak kusangka Eric bisa berbuat hal yang tidak beradab seperti itu kepadamu. Dia memang tidak bermoral!! BAJINGAN!!!” geram Chaca.
Suasana hening sejenak. Mitha menyandarkan dirinya pada sebuah bangku taman. Sementara Chaca tak tahu apa yang harus dibicarakannya selanjutnya. Ia merasa gugup dan kehilangan kata - kata di hadapan orang yang telah ia tuduh seenaknya dan kini orang tersebut telah memaafkannya dengan tulus.
“Sebenarnya berita yang kau baca dari internet itu tidak semuanya benar,” ucap Mitha tiba – tiba membuyarkan lamunan Chaca.
“He-eh . . .  Maksudmu?” tanyanya mendekat ke Mitha dan duduk di sebelahnya. Raut wajahnya menunjukkan gurat – gurat keingintahuan.
“Aku ingin kau mengetahui satu hal yang mungkin akan membuatmu syok. Sama seperti aku saat Rey mengucapkannya di hadapanku,” ujar Mitha makin membuat Chaca ingin tahu.
“Hal apa, ‘Tha?”
Mitha menghela napas yang panjang sebelum melontarkan jawaban tersebut.
“Rey dan Eric adalah pasangan gay. Ya . . . mereka gay,” jawab Mitha dengan mata berkaca – kaca. Chaca terkejut bukan kepalang mendengar Mitha berkata seperti itu.
“Ga . . gay maksudmu?”
“Benar ‘Ca. Aku benar – benar tidak menyangka kalau Rey adalah seorang Gay. Dia sendiri yang mengaku padaku waktu aku bertemu dengannya di pantai.”
“Bertemu di pantai?” tanya Chaca heran.
“Aku berbohong di media. Sebenarnya Rey tidak menelponku, tapi akulah yang bertemu dengannya di pantai secara tidak sengaja. Pada saat itu aku meminta dia menjelaskan semuanya.”
“jadi . . . ?”
“Ya . . . aku menemukan Rey dan salahku tidak menelpon Polisi waktu itu. Aku hanya ingin dia bersikap gentleman, seperti sikap yang dia tunjukkan selama ini padaku,” ucap Mitha membela diri.
Chaca mendengarkannya dengan serius walaupun di wajahnya masih tampak gurat – gurat keterkejutan yang teramat sangat.
“Selain gay, Eric juga seorang gigolo. Mungkin! Karena Rey bilang, Eric pernah kencan dengan Mamaku.”
Chaca tak bisa berkata apa – apa setelah mendengar ucapan Mitha tersebut. Ia hanya bisa terkejut dan seakan tak percaya bahwa Eric adalah seseorang yang bisa berbuat hal – hal yang amoral seperti itu. Ia juga tak habis pikir, kenapa Eric bisa mencintainya seperti layaknya seorang pria mencintai seorang wanita pada umumnya.
“Aku tidak mengerti ‘Tha. Kalau Eric gay, kenapa dia mau berhubungan denganku?” tanya Chaca heran.
“Mungkin Eric cowok straight,” jawab Mitha cepat.
Straight????
“Ya, cowok yang suka wanita tapi juga suka dengan pria. Tapi celakanya, cintanya yang terbesar hanya untuk Rey, tidak untukmu. Dia menjalin hubungan denganmu mungkin hanya untuk sekedar having fun semata. Maaf aku berbicara seperti itu.”
“Sekarang aku mengerti, kenapa saat itu dia menyobek – nyobek foto – foto kebersamaannya dengan Rey dan tak henti – hentinya berbicara tentang Rey tiap ada kesempatan. Lantas hubunganmu dengan Rey?”
 “Rey menjalin hubungan denganku karena dia ingin berubah. Dia ingin sekali berubah menjadi laki – laki normal. Dia ingin bisa mencintai seorang wanita dengan sepenuh hatinya. Tapi kenyataannya, dia tetap tak bisa,” ucap Mitha menerawang. Matanya mulai berkaca – kaca. Chaca mengelus pundaknya hangat.
“Hal itulah yang membuat Eric sakit hati. Dia merasa dicampakkan oleh Rey. Dia cemburu. Sejak saat itu dia mulai melancarkan berbagai cara untuk membalas sakit hatinya kepada Rey, salah satunya dengan memperkosaku.”
“Walaupun dia gay, di mataku, Rey tetaplah seorang laki – laki sejati. Aku membencinya tapi aku juga mencintainya. Dia akan tetap selalu ada di dalam hatiku, walaupun sekarang dia telah pergi jauh untuk selama – lamanya,” lanjut Mitha dengan air mata yang tak dapat dibendung lagi. Spontan Chaca memeluknya dengan hangat. Seketika air mata tumpah membanjiri pipinya yang putih mulus.
“Sudah ‘Tha. Kamu nggak sendirian. Bukankah aku juga mengalami hal yang sama denganmu? Kita berdua sama – sama ditipu. Aku juga tidak menyangka kalau Eric adalah seorang gay. Karena saat aku menjalin hubungan dengannya, dia tidak pernah menunjukkan tindakan – tindakan yang mencurigakan. Aku memang tau dia berteman dengan Rey. Dia bilang Rey adalah sahabatnya. Namun, aku benar – benar tidak menyangka kalau hubungan mereka ternyata lebih dari itu,” ucap Chaca panjang lebar.
Mitha melepaskan pelukan Chaca.
 “Aku ingin memulai lembaran hidup yang baru, ‘Ca? Aku ingin melupakan semuanya,” ucapnya dengan suara serak. Chaca menatap wajahnya dan menghapus air matanya.
“Akupun begitu, ‘Tha. Tak enak rasanya hidup dengan bayang – bayang masa lalu. Anggap saja semua peristiwa ini adalah pelajaran yang berharga untuk kita. Sekarang . . . . kita berteman ‘kan?” ucap Chaca menyodorkan jari kelingkingnya ke hadapan Mitha. Mitha menyambutnya dengan mengaitkan jari kelingkingnya.
“Bukan berteman, tapi bersahabat . . . “











Dua tahun kemudian . . . . . . .
“Ayo naik ke atas!!” teriak Mitha dari atas kepada seorang cowok kurus berkacamata dan mempunyai lesung pipit di pipi kirinya itu.
Nggak ah! Di bawah aja!!” teriaknya.
“Ayo Rey!!” teriak Mitha lagi sambil meraih tangan Rey dan menariknya ke atas.
Tu liat? Indahkan pemandangannya?”
Rey mengangguk pelan. Ia tersenyum sambil menghirup udaranya dalam – dalam. Ia merentangkan kedua tangannya di ujung batu besar tersebut. Baju kemejanya melayang – layang seperti terbang. Mitha tertegun melihat pemandangan itu. Tanpa sadar airmata menetes dan mengalir di pipinya. Rey melihatnya dengan heran.
“Ada apa Mit?” tanyanya dengan nada heran. Mitha menyeka air matanya dan langsung memeluk tubuh Rey. Rey mengusap rambut panjangnya dengan lembut. Perlahan Mitha melepaskan pelukannya.
“Gaya kamu tadi mengingatkan aku pada seseorang,” ucapnya lirih. Rey mengernyitkan dahinya.
“Siapa?”
“Orang yang paling kucintai.”
“Siapa dia Mit?” tanya Rey lagi dengan raut wajah yang sedikit cemburu.
“Namanya Rey,” jawabnya singkat. Rey makin tidak mengerti.
“Kamu lucu ya Mit. Itu aku ‘kan?”  tanyanya tertawa kecil.
Mitha berjalan perlahan menuju pohon beringin besar yang tumbuh di atas celah batu granit besar tersebut.
“Dulu aku punya pacar. Namanya Rey.”
“Oh . . . aku sekarang tau, kamu terima aku jadi cowok kamu karena namaku sama dengan mantan kamu yang dulu,” komentar Rey dengan nada malas. Mitha mengelus pipinya pelan.
“Kau cemburu?” tanya Mitha tersenyum manis.
“Aku nggak cemburu, siapa lagi yang cemburu?” bantahnya dengan salah tingkah.
“Kamu nggak perlu cemburu lagi sama orang yang telah meninggal,” ucap Mitha mengejutkan Rey.
“Maksudmu?”
“Ya, Rey telah meninggal. Dia bunuh diri. Tepatnya di sini, di pohon beringin itu,” jawab Mitha seraya menunjuk pohon beringin besar nan rimbun yang tidak diketahui berapa usianya itu. Wusshh . . . . !!!! seketika hembusan angin menjadi kencang menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di bawahnya. Tiba – tiba tubuh Rey menjadi dingin. Bulu kuduknya berdiri. Ia merapatkan kedua tangannya di dada.
“Andrey Wiguna, anak dari pengusaha Hady Wiguna, menjadi buronan setelah membunuh temannya sendiri, Eric. Kemudian dia membunuh istri muda Ayahnya dan terakhir dia mengakhiri hidupnya di sini,” kenang Mitha. Dahan pohon beringin tersebut mulai bergerak – gerak ditiup angin. Bunyinya gemerisik seakan memberi pertanda bahwa Rey hadir di tengah – tengah mereka berdua.
“Tragis sekali nasibnya.”
“Kau tau mengapa dia membunuh temannya?”  tanya Mitha. Rey menggelelng.
“Dia membunuh temannya karena temannya tersebut telah memperkosa aku.”
Rey terkejut mendengarnya. Satu hal penting yang tidak diketahui olehnya selama ini akhirnya terungkap dari bibir Mitha sendiri.
“Apa? Perkosaan?” katanya terkejut.
“Ya, aku ingin jujur kepadamu Rey. Dan kuharap kau bisa mengerti. Kalaupun kau ingin meninggalkanku sekarang, aku siap menerimanya,” ucapnya dengan mata berkaca – kaca. Rey memegang kedua tangannya. Lalu ia meminta Mitha melanjutkan cerita.
“Eric memperkosaku karena dia cemburu kepada Rey.”
Rey mengernyitkan dahinya.
“Cemburu?”
“Ya, karena Rey adalah seorang Gay. Sebelum dia menjalani hubungan denganku, dia sudah lebih dulu berhubungan dengan Eric. Perilaku mereka menyimpang. Rey memacariku hanya untuk menjadikanku alat agar dia berubah menjadi laki - laki normal. Aku tidak tau kalau Rey membohongiku. Dia bilang cinta padahal hatinya bilang tidak. Dia terima ciuman dariku padahal dia sendiri tidak menikmatinya,” tuturnya dengan berderai air mata. Rey memeluknya.
“Sudahlah Mit. Yang lalu biarlah berlalu. Aku bisa menerimamu apa adanya walaupun dulu kau pernah dilecehkan,” kata Rey menenangkan sambil mengusap punggungnya pelan.
“Terima kasih Rey,” ucap Mitha dengan suara yang serak.
“Aku bisa menggantikan sosok Andrey yang pernah kau cintai dulu. Tentunya aku bukan GAY seperti dia. Aku REY!!! Pria sejati yang akan mencintaimu dengan sepenuh hati,” katanya membanggakan diri. Mitha mencubit gemas perutnya. Lalu ia memeluk tubuh Rey semakin erat. Bibirnya tersenyum bahagia.

♥♥♥




“Walaupun kau telah tiada, kau tetap akan selalu ada di dalam hatiku, Rey? Aku tidak bisa membencimu walaupun telah kucoba berulangkali. Kini aku memulai lembaran kisah hidup yang baru. Semua telah banyak berubah Rey. Mama telah bercerai dengan Papa. Walaupun Mama bahagia telah lepas dari penderitaan batin selama beberapa tahun ini  namun penderitaan lain yang tak kalah hebatnya datang mendera. Mama terkena kanker otak, Rey. Sesuatu hal yang tidak pernah kusangka dan tidak pernah kuduga sebelumnya. Keadaan Mama semakin ringkih, tidak seperti yang dulu. Aku kasihan melihatnya. Aku selalu berdoa semoga datang keajaiban untuk Mama agar bisa sembuh. Walaupun kita semua tahu, bahwa hanya sedikit saja orang yang menderita kanker otak bisa sembuh secara total. Tapi aku tetap yakin, suatu saat keajaiban itu akan datang menghampiri Mama.
 Kau lihat!! sekarang aku juga punya pacar. Namanya REY. Sama saat aku memanggilmu dulu. Oya, kalung liontin pemberianmu masih kusimpan baik – baik, begitupun dengan jaketmu. Kau dulu pernah berkata “Jika kau rindu aku, pakai saja jaketnya. Aku akan hadir di dekatmu.” Aku selalu ingat akan kata – kata itu.
Rey,  Aku tetap mencintaimu walaupun pada kenyataannya kau tidak mencintai aku. Ya . . . karena kau Gay. Tapi bagiku, kau tetap seorang laki – laki sejati. Anggap saja dulu aku mencintaimu hanya sebagai seorang sahabat, bukan sebagai seorang kekasih.”

TAMAT